Akhirnya, setelah 2,5 tahun tinggal di Balikpapan, saya pergi ke Tenggarong. Tenggarong adalah ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara, kabupaten terkaya di Indonesia yang menurut artikel ini mendapat jatah 2,5 triliun rupiah di tahun 2009 untuk bagi hasil sumber alamnya. In case you’re that clueless, sumber alam yang dimaksud adalah migas dan batu bara.
Tadinya saya nggak percaya waktu Aresty, sebagai Anak Gaul Sangatta, cerita bahwa Tenggarong punya museum yang bagus banget, Museum Mulawarman. Tenggarong just sounds very….. remote. In fact it is! Bersama teman-teman kantor, Bima, Ivan, Chita, Adhi, plus teman LFM yang terdampar di Balikpapan, Emil, kami naik mobil ke Tenggarong. Waktu tempuhnya kurang lebih 3 jam dari Balikpapan (kalau nggak berhenti-berhenti untuk makan tahu Sumedang di jalan hehehe). Jalan dari Samarinda menuju Tenggarong yang menyusuri Sungai Mahakam relatif sempit dan berlubang-lubang. Rasanya seperti off-road ke pedalaman terpencil deh.
Kami kaget begitu sampai di Tenggarong, ternyata kotanya bagus, bersih banget, jalanannya super lebar-lebar dan taman-tamannya tertata. Memang tidak modern dan ramai, tapi betul-betul asri dan apik. Sejauh yang saya lihat, tidak ada bangunan pemerintahan yang saya lihat kumuh atau catnya pudar. Dari tepi sungai Mahakam terlihat sosok Lembuswana emas yang gagah berdiri di Pulau Kumala.
Lembuswana ini hewan berbelalai, bergading, bersayap, berisisik, dan bermahkota yang konon membawa raja pertama turun ke tanah Kutai. Menurut kami sih lebih gagah dari Merlion yang nggak punya kaki, hehehe :p
Berhubung kurang persiapan dan waktu yang mepet, kami tidak sempat menyebrang ke Pulau Kumala. Namun dari jauh saja kami sudah melihat penampakan taman burung, stadion yang megah, bahkan kata seorang mas-mas ada kereta gantungnya! Cable car? In Borneo? Never ever imagined it until yesterday (well, who would?!)
Saat kami tiba di Museum Mulawarman, ternyata sudah tutup. Tertulis bahwa museum tersebut buka dari jam 09.00-16.00 dan tutup di hari Jumat. Mungkin lain kali harus datang lebih pagi nampaknya. Namun dari luar terlihat museum ini terawat sekali.
Guess what else. Tenggarong bahkan punya planetarium! Nggak kebayang sama sekali, in the middle of Borneon’s jungle tiba-tiba ada planetarium! (iya, dengan 2 triliun, apa sih yang nggak bisa dibangun?)
Tidak jauh dari planetarium terdapat Masjid Agung yang berdekatan dengan taman kota dan Kedaton. Saya nggak melihat kesan ‘terlalu ramai’ seperti taman kota di Indonesia pada umumnya. Rasanya sepi, padahal saat itu hari Sabtu. Sementara gedung Kedaton di Tenggarong ini terlihat megah dan lebih modern kalau dibandingkan dengan Keraton Jogja atau Solo. Semua orang bebas masuk ke halamannya gratis tapi tetap nggak bisa memasuki bangunan Kedaton. Halamannya bersih, tertata rapi, air mancurnya dinyalakan, dan patung-patungnya berwarna cerah seperti baru dicat.
Keren lah :) Waktu saya post tentang Tenggarong di Path, seorang teman berkomentar, bahwa di Program Studi Planologi, Tenggarong ini cukup sering dibahas. Namun demikian, mungkin pemasukannya benar-benar dari ‘langit’ ya, karena saya nggak melihat ada industri atau objek pariwisata sebagai elemen perputaran ekonomi. “Bagaimana kalau nanti sumber daya alamnya habis?” Kata teman saya.
Bagaimana ya?
Leave a Reply