Sudah empat bulan lebih seminggu saya menjalani peran baru saya sebagai ibu. Layaknya ibu-ibu kantoran, saya juga sudah kembali dari ‘cuti melahirkan’. Saya mulai menerima commission dan bersiap buka lapak Fat Bunny lagi. Saya juga mulai memikirkan mau diapakan ide-ide yang selama ini terlintas di kepala setelah lama ada di buku catatan. Intinya: saya merasa siap untuk menjadi Working At Home Mom (WAHM) alias ibu yang bekerja di rumah, seperti apa yang saya cita-citakan.
So, how’s the road to be WAHM going? Sebetulnya, alhamdulillah, sejauh ini semua berjalan dengan baik. Antariksa mendapat konsumsi ASI eksklusif dan berat serta tinggi badannya baik sekali untuk bayi seusianya (9.7 kg / 67 cm). Saya sudah memangkas 15 dari 20 kilogram hasil kehamilan kemarin. Dengan adanya seorang Asisten Rumah Tangga (ART), rumah kami bersih, rapi, dan makanan rumahan selalu tersedia. Di awal bulan semua administrasi rumah tangga saya bereskan, dan di akhir bulan suami mendapat spreadsheet laporan keuangan yang akuntabel. Manajemen keuangan berjalan baik dan alhamdulillah selalu ada yang disisihkan untuk tabungan.
Sedikit demi sedikit saya pun mulai bereksperimen soal manajemen waktu. Saya bisa bekerja di ruang manapun, kapanpun di rumah. Nggak ada pesanan gambar yang saya langgar tenggat waktunya dan saya juga berhasil menepati jadwal untuk project saya sendiri. People may tell that I’m doing fine.
However, I can’t seem to stop criticizing myself and worry.
Saya sering merasa bersalah. Kadang saya membiarkan Antariksa asyik main sendirian atau harus ditemani Si Mbak sementara saya sibuk dengan laptop atau ponsel. Sering kali saya nggak ‘mampu’ melepaskan gadget saat main dengan anak (which I know I shouldn’t do), bored and trying hard to catch up with what’s going on outside. Bicara soal luar rumah, saya tentu jadi lebih jarang keluar rumah, jarang dandan atau dituntut berpakaian rapi. Even as an introvert, I sometimes miss socializing as in having conversation with real people over real coffee instead of finger-typing stuff in WhatsApp group over coffee flavored bottled beverage.
Di rumah saya nggak masak (semua yang masak ART) dan nggak melakukan kerjaan rumah selain beberes dan rapi-rapi. Saking bisa diandalkannya ART saya, sampai-sampai belakangan ini kalau ke dapur saya suka nanya barang A atau B itu disusun dimana karena saya nggak lagi menjadi manajer utama kitchen set. Saya sudah lama nggak berolahraga ataupun yoga dengan alasan klasik: nggak sempat. (padahal kalau update @lambe_turah disempet-sempetin). I used to do everything and now, what am I doing? Am I doing ‘motherhood’ right? Am I even a good mother?
Sampai hari ini di tahun 2017 saya baru menamatkan dua buah buku. Keduanya seputar motherhood dan parenting yaitu Momma Zen: Walking the Crooked Path of Motherhood dan Bringing Up Bébé. Dari kedua buku tersebut, banyak hal yang ingin saya bagi dan pendapat-pendapat pribadi yang ingin saya tulis di blog. Namun dari semuanya, yang paling utama adalah: saya bertekad untuk menuliskan rasa ragu dan bersalah saya. Saya juga bertekad untuk menghadapi perasaan-perasaan tersebut. Saya pikir saya harus mengingatkan diri saya sendiri: nggak ada ibu yang sempurna.
Di era informasi yang begitu deras alirannya ini, saya yakin semua orang, termasuk para ibu, terpapar oleh begitu banyak informasi soal parenting, mulai dari soal tumbuh kembang anak, pola asuh, kondisi psikologis anak, dan seterusnya. Berbagai teori yang didukung studi dan data statistik dapat dengan mudah kita temukan di berbagai buku, seminar, hingga pesan-pesan yang tersebar secara berantai di grup WhatsApp. Semakin banyak informasi yang dibaca, sepertinya semakin banyak juga kesalahan yang dilakukan orang tua. “Jangan-jangan anak saya kurang stimulasi?”, “Jangan-jangan saya kurang banyak waktu dengan anak saya?”, “Jangan-jangan anak saya terlalu attached dengan saya?”, “Jangan-jangan saya terlalu membatasi anak?”, dst dst.
Bukan hanya itu, para ibu juga dengan mudahnya bisa ‘mengintip’ kehidupan dan gaya hidup ibu-ibu lain di luar sana melalui media sosial. Banyak hal yang bisa ‘diintip’, mulai dari stroller yang digunakan si bayi, mainan edukatif atau makanan sehat si anak, ‘stylish’-nya seorang ibu sudah kembali memakai pakaian ukuran S padahal baru 2 bulan lalu melahirkan, sampai koleksi ASI perah yang memenuhi freezer.
Kemudian dari media sosial juga muncul berbagai sosok ibu dambaan. Ibu-ibu yang efortlessly cantik, segar, bugar, dengan anak sehat lucu di kamar bergaya minimalis Scandinavia. Muncul ibu-ibu rumah tangga dambaan yang membuat sendiri mainan untuk anaknya, memanggangkan anaknya kue dengan hanya dengan bahan organik dan sudah jelas anti MSG. Muncul juga ibu-ibu dengan kekuatan bulan seperti Sailor Moon yang bisa ‘strong banget’ mengerjakan segala pekerjaan tanpa ART. Belum lagi ibu-ibu berkarir cemerlang yang tetap bisa business trips ke luar negeri namun dengan kerennya tetap bisa ASI eksklusif karena stok ASIPnya ratusan botol. Pokoknya segala rupa ibu-ibu yang suka bikin minder dan mikir, “Perasaan sehari sama-sama 24 jam. Lah gue ngapain aja sih? Nggak becus kali ya jadi ibu?”
I guess if you think what I think, we need to stop and take some time to think and appreciate our own selves as mother. Let’s take a breath and accept ourselves; our flaws and impatience.
Seolah membaca pikiran saya, berikut petikan dari buku ‘Momma Zen’:
Practice acceptance on yourself so you can be kinder with your child. Practice nonjudgmental awareness of your life so you can save your loved ones from the cruelty of your own impossible standards and your hard-hearted disappointment. Practice greater faith and lesser blame. Take this blink of time when you are still stumbling at the gate, still awkward at the tasks, to turn down the sound and tumble freely in a state of grace.
Saya pikir ketidakterimaan dan selalu merasa kurang ‘hebat’ saat menjadi ibu mirip dengan persoalan membanding-bandingkan hidup yang dulu pernah saya tulis. We think we know mothers who are perfect but we don’t know what they have sacrificed, what’s behind the images we were shown. Yes, I believe that as a parent we need to be the better, but it’s a better version or our own selves instead of the others who are out of our league (whichever league we are in). Yes, I believe that I and Beyonce equally have 24 hours in a day, but we have different situation, different resource, different limitation, and of course: different family. Beyonce has 24 hours to be Beyonce and I have my own 24 hours to be myself with my own way, and it doesn’t mean that one of us is a better mother than the other.
Pada akhirnya saya pikir saya harus kembali kepada apa yang menjadi prioritas, fokus kepada hal-hal terpenting dan bukannya pada apa yang nggak saya punya atau apa yang nggak saya lakukan. Pada akhirnya saya berkesimpulan bahwa menjadi ibu adalah sebuah proses pembelajaran dan bukan soal menjadi seorang yang sempurna. Let’s stop putting too much weight on each our shoulder or each other’s. Let us not feeling guilty for not being (what is believed as) super mom. Or a perfect mom.
Untuk mengakhiri tulisan dan curhat panjang ini (kan bukan SBY aja kan yang boleh curhat :p) saya akan meminjam lagi sebuah kalimat bijak dari Momma Zen,
Taking good care of your family is no different from taking good care of yourself. There is nothing more gratifying. There is nothing more immediate.
Have a great time, and thanks for reading :)
Leave a Reply