Sebetulnya ada topik lain yang sudah saya jadwalkan untuk di post hari ini, namun saya pikir sekarang bisa menjadi momen yang pas untuk bicara soal influencer, konten dan konten berbayar (alias… iklan). Saya harap tulisan ini nggak menyinggung siapapun, namun sekiranya ada yang tersinggung bisa dijadikan bahan refleksi.
Rasanya belakangan saya sering sekali mendengar kata ‘influencer’ yang dijadikan titel. Titel ini diberikan kepada orang-orang yang punya banyak followers. Banyak atau sedikit adalah hal yang relatif karena sekarang sudah ada istilah ‘microinfluencer’, untuk orang-orang yang followersnya banyak, tapi nggak banyak-banyak banget #nahloh. Ada lagi julukan ‘selebgram’, yang ini juga untuk orang-orang yang followersnya banyak di Instagram namun katanya sih banyak ‘influencer’ yang nggak mau disebut ‘selebgram’. Beda katanya sih. Belum lagi julukan-julukan lain seperti ‘content creator’, ‘buzzer’, dst. Kalau penasaran, saya nemu artikel ini, siapa tau mencerahkan.
Masih bingung? Jangan khawatir, dunia yang satu ini memang sering membingungkan kok :’)
Sebetulnya hal yang bikin saya merasa harus menulis soal ini adalah waktu kemarin Awkarin ramai dibicarakan karena mempromosikan obat pengencang payudara dan vagina untuk disuntikkan sendiri. Saya sendiri nggak mengikuti Awkarin, namun karena viral saya jadi ikut ‘kepo’ juga. Saya juga sempatkan melihat rangkaian Instagram Storiesnya yang sudah sampai jadi titik-titik kecil bagaikan kutu berbaris, saking banyaknya :’) Isinya macam-macam, ada kehidupan dia, bercampur dengan segala iklan online shop yang nggak jelas. Berapa tarif pasang iklan di IG stories Awkarin? Rp1.500.000 (per Agustus 2018). Kalau di IG feednya? Rp4.000.000 (per Agustus 2018 – sumber akun LINE@ resmi Awkarin)
Silakan kalau mau dihitung-hitung kira-kira berapa pendapatan Awkarin. Ini baru ngomongin Awkarin, belum selebgram lain semacam Ria Ricis atau yang seleb beneran seperti Nia Ramadhani yang sekali posting di Instagram bisa Rp10.000.000 tarifnya. Nggak heran kalau banyak orang yang ingin jadi ‘selebgram’, semua-semua dikirimin, semua-semua digratisin, tinggal foto-foto, dapet duit banyak pula.
Iklan Jangan Selalu Dimusuhi
Bergeser beberapa planet dari kehidupan Awkarin, saya juga punya pengalaman menjadi bagian dari digital marketing. (Influencer? Mungkin bawahnya micro kali ya, nanoinfluencer gitu? :’))))) Biasanya saya bekerja sama dengan brand atau organisasi untuk menulis konten yang mempromosikan produk atau campaign mereka. Yup, dibayar dan kadang bisa jadi bayarannya dalam bentuk produk. Namun saya pribadi selektif soal kerjasama seperti ini karena saya merasa punya tanggung jawab baik kepada klien maupun kepada pembaca.
Salah satu wujud tanggung jawab saya adalah dengan nggak bekerjasama dengan pihak yang saya sendiri nggak mau pakai produknya atau kampanyenya bertentangan dengan value saya. Tanggung jawab dan kejujuran ini saya pikir penting sekali, walaupun ketika promosi tentu seseorang akan menghighlight kebaikan produk yang bersangkutan. Bagi saya, selama ditulis dengan objektif dan menimbang kepentingan pembaca, sistem kerjasama konten bersponsor adalah sebuah win-win solution. Banyak kok respected brand yang nggak hanya jualan tapi juga mengedukasi konsumennya dan terus berinovasi :)
Intinya mah: halal. Semua senang. Semua menang. Tinggal soal rasio konten berbayar dan konten originalnya saja, ya kan?
Iklan dan Supply Demand Trashy Content
Sayangnya prinsip tanggung jawab dan kejujuran ini yang nggak dimiliki oleh semua so-called-influencers. Tanpa ingin menyudutkan siapapun, tapi banyak sekali yang tampak berprinsip, “Yang penting duitnya, kalau lo pinter juga lo nggak bakal pakai.” Produk yang dijual pun mulai dari behel palsu, obat-obat ‘herbal’, pil pelangsing, peninggi, pemutih, pengencang, kosmetik palsu, tas KW, dst. Jangan jauh-jauh dulu deh ngomongin value, purpose, self-acceptance, itu mah ketinggian. Soal keamanan saja sepertinya nggak diperhatikan sama sekali :(
Kadang saya ngobrol sama suami saya dan kami pikir memang target audiens mereka adalah segmen kelas menengah bawah atau remaja-remaja yang masih gampang terpengaruh. Oleh karena itu nggak heran kalau konten berbayarnya pun dengan santai membodoh-bodohi audiens. Memang sih kita nggak follow mereka dan nggak perlu repot-repot terpapar konten seperti itu, dan kalaupun terpapar kecil kemungkinan untuk terpengaruh. Namun pernah nggak sih kepikiran untuk melihat pada skala yang lebih besar, bahwa ketika masyarakat terus dijejalkan konten nggak bermutu, hasilnya adalah audiens yang nggak akan pernah meningkat mutunya atau bahkan makin buruk? Hasilnya apa? Demand terhadap konten-konten yang mutunya rendah akan terus tinggi, dan para ‘selebgram’ akan terus menghasilkan konten dan iklan seperti itu. Seperti lingkaran setan.
Saya sebenarnya yakin bahwa sebetulnya selebriti, selebgram, influencer, youtuber, dst punya kemampuan dan kesempatan untuk mengedukasi masyarakat, apalagi generasi muda dan anak-anak. Silakan buat konten receh-receh, tapi nggak harus membodoh-bodohi kan? Alhamdulillah, banyak kok influencer yang membawa pengaruh positif. Banyak influencer yang kontennya bagus, bahasanya santun, berprestasi dan membawa pengaruh baik untuk followersnya. Saya salut sekali sama mereka dan berharap semoga yang seperti ini semakin banyak karena impactnya besar loh untuk masyarakat :)
Semua Ibu-Ibu Adalah Influencer
Yup, saya yakin dengan bikin tulisan ini nggak lantas bikin Awkarin atau Ria Ricis jadi bikin konten yang lebih bermutu atau mengedukasi followersnya. Namun saya pikir, tulisan saya ini ada kemungkinan dibaca, termasuk oleh para ibu-ibu.
Berhubung saya sekarang sudah ibu-ibu dan memegang posisi krusial di rumah tangga, saya menyadari kalau saya adalah influencer utama di rumah. Oleh karena itu, menurut saya penting sekali bagi ibu-ibu untuk menjadi ‘good influencer’. Referring to illustration above, we should supply our family and children with good content, educate them so hopefully later they would only demand good content.
Tentu saja saya bukan ibu-ibu yang sempurna dan nggak selalu positif di keluarga. Ada kalanya saya ‘gatel’ ingin ngomongin gosip artis atau drama-drama pertikaian online. Namun saya tetap berusaha mengingatkan diri sendiri dan percaya kalau segala fenomena anak-anak ketagihan lihat video unboxing mainan atau remaja beli krim pemutih abal-abal adalah sesuatu yang mungkin kita cegah dari rumah. Yakin lah kalau ibu-ibu adalah influencer utama :3 Saya percaya kita bisa berdisukusi dengan anak-anak kita dan memberikan alternatif konten yang baik dan menarik. Ya walaupun followers kita nggak ratusan ribu, mari mulai dari yang terdekat dulu.
Kesimpulannya…
Kalau saya bikin sponsored post, tetap dibaca yaaa, hahahahahaha. Trust me, I’m giving my best ;D
*ending yang mengecewakan hahahaha*
8 Comments
Setuju sama semua tulisan diatas :D yang mana? pokoknya semua! hahahaha..
Dulu aku pernah follow selebgram astridsatwika dengan high level kehidupannya dan kagum sama barang2 yg diklanin, bikin pengen beli… entah knp menggoda aja, siapa tau kl pake meap kayak dia ku bakalan kinclong kayak dia hahaha #shallow tapi setelah beberapa lama follow, ku sadar diri, itu bukan kehidupan yg cocok buat aku, jadi unfol dan I’m fine :D
kalau beberapa kali dapet rejeki buat iklan di blog, udah mulai pilih2 dan beneran barang2 yg dipake, apalagi kl ada sangkup pautnya sama anak..
yah kebayang sih sekarang orang berlomba2 jadi selebgram, secara cuman posting foto aja dpt berjut2.. aku aja yg hanya micro-ba (influencer) sedikit merasakan enaknya mengendorse barang2 hahahah..
Hi kak, kok sama sih pemikirannya apalah @art_sense nano influencer yang hobi gambar dan newbie dalam dunia blogging hahha. Dulu saya envy liat seleb/selebrgam/selebblog di endorse eh tapi pas ngerasain asik juga ya, selama halal dan aman sih saya terima toh itu rezeki, kecuali klo konten ribawi, pasti kutolak wqwq semoga makin banyak good influencer dibanding idola remaja yang merusak moral bangsa?
baca di igs selebgram lain banyak loh yg kemakan janji palsu tu produk2 sampe ginjal lah, mandul lah. Btw, kita bisa report ke ig juga akun akun yg promote illegal drugs. Tapi akun centang biru di report remahan micin masih ngefek ga ya haha
gak hanya di ranah social media juga sih, di level iklan tv pun kadang miris ngeliat orang atau barang yang diiklankan koq seperti ‘dipaksakan’.
[…] orang-orang relatively terkenal yang punya banyak pengikut–ini juga terinspirasi oleh tulisan Mba Puti soal content, iklan dan influncer yang sumpah gw setuju banget. Contohnya apatuh, sinetron Orang Ketiga, gw kaget dan sempet shock tau […]
wkwkwkw… endingnya bikin ngikik mbak.
Tapi sejauh ini aku masih percaya banget sama Blogger sih. Aku percaya masih lebih banyak Blogger yang kalo bikin sponsored post pun bermutu. Semoga bukan karna au juga Blogger yg juga kadang bikin sponsored post. ahaha
[…] Sejujurnya saya sudah lama mau menulis soal ini, namun nggak kunjung sempat. Eh ternyata sekarang orang-orang sedang ramai membahas Awkarin yang membuat statement bahwa dia akan menjadi pribadi dan berbagi konten yang lebih baik ke depannya, meninggalkan masa lalunya yang sempat dia banggakan sebagai ‘Bad Influence’. Jujur, saya nggak pernah gimana-gimana banget sama Awkarin. I was aware that she promoted terrible stuff tapi saya merasa harus lebih objektif dan komprehensif saat membahas soal endorsement barang palsu dan obat-obat berbahaya lainnya. Soal itu saya sudah pernah tulis di sini. […]
[…] Kemampuan literasi audiens secara umum juga akan mempengaruhi kualitas dari ‘demand’ atau permintaan konten. Semakin audiens tidak terbiasa dengan konten yang ‘serius’ (karena secara kemampuan literasi tidak mencukupi), semakin sedikit ruang kreator atau penulis untuk menciptakan konten yang ‘serius’. Apa yang terjadi kemudian? Konten yang beredar akan sesuai dengan ‘demand’, sehingga kita selalu akan dibanjiri konten ‘trashy’. Saya pernah membahas siklus ini di post ini. […]