Salah satu alasan kenapa saya masih suka menulis blog adalah: saya bisa lebih leluasa menjelaskan konteks sebuah pernyataan atau argumen. Mengerti konteks baik sebagai penulis maupun pembaca adalah hal yang penting; termasuk siapa penulis dan siapa yang diharapkan untuk membaca. Ini adalah hal yang tidak dimiliki media sosial yang serba cepat dan setiap detiknya selalu dibanjiri informasi baru.
Semalam, di tengah kerusuhan mengerjakan pekerjaan dari tahun lalu, saya melihat nama ‘Putri Marino‘ trending di Twitter. Ternyata ini adalah perkara puisi-puisinya yang dibukukan, padahal menurut banyak orang: tidak layak. Bahkan nggak layak disebut sebagai puisi. Beberapa kemudian mengaitkan tulisannya dengan wajahnya yang cantik, prestasinya sebagai aktris atau bahkan statusnya sebagai istri Chicco Jerikho. Menurut saya pribadi, banyak (tidak semua) opini yang menjurus ke perundungan atau ‘bullying’.
Pendapat saya sederhana: Kalau nggak mau beli, ya nggak usah beli. Kalau nggak mau baca, ya nggak usah baca. Apalagi tulisan-tulisannya nggak merugikan siapapun, nggak mengandung kebencian atau SARA.
Nggak disangka ternyata banyak yang respon, mungkin kesel karena seolah-olah saya menuduh orang yang nggak suka itu sebagai ‘snob with anger management issue’. :’))) Padahal saya kan mengakui kesalahan saya dulu yang suka ‘merendahkan’ karya yang mungkin memang bukan saya target marketnya; selalu merasa band indie dari pelosok Skandinavia sudah pasti lebih bagus dan keren daripada band D’Masiv, atau merasa nggak level nonton film Indonesia karena saya levelnya nonton film Sundance. (wow, sotoy, padahal pas nonton sering ngantuk~)
Kemudian muncul berbagai argumen soal ‘ya orang boleh-boleh aja dong mengkritik suatu karya’ sampai ada yang menuduh saya anti-kritik atau impostor. I wasn’t offended, really, but the whole conversation really got me thinking. Saya merasa ada banyak sekali yang bisa dibahas dari kehebohan ini.
So, first of all, let me give you some context about my perspective:
- I don’t know Putri Marino personally
- I’m not a poet and I don’t have academic degree on literary stuff
- I’m a published author, I wrote illustrated books, so… I get the idea about the industry.
- I like reading and buying books that are not limited by genre
- I founded an online bookclub @bbbbookclub where we pretty regularly discuss about books and the industry. BBBBookClub juga teragabung dalam klaster literasi jaringan Semua Murid Semua Guru, jadi walau sedikit dan terbatas saya punya gambaran tentang masalah literasi / minat baca di Indonesia.
Kenapa ini penting untuk diceritakan? Karena saya nggak bisa berkomentar dari segi sastra tapi saya bisa berkomentar sebagai penulis buku yang membuat karya yang tidak ‘sastrawi’.
1. Karya itu beda-beda tujuannya
Ini yang pertama ingin saya teriakkan ke saya di masa lalu yang berumur 20-an. Dulu saya selalu berpikir kesuksesan sebuah karya adalah kalau dipuji kritikus-kritikus dan teknik eksekusinya bagus. Namun, akhirnya saya belajar bahwa tujuan membuat suatu karya, entah itu musik, buku, film, atau konten sekalipun, beragam tujuannya: kepuasan pribadi berkarya, keuntungan alias cuan, menyampaikan pesan: edukasi terhadap suatu isu, kritik politik sosial, dll.
Perbedaan tujuan ini akan turun ke berbagai perbedaan lainnya: perbedaan target market (ya beda dong antara bikin karya untuk ABG sama untuk ibu-ibu yang sudah bitter dengan realita hidup *LOH CURHAT YA ANDA?*), perbedaan eksekusinya termasuk bahasa yang digunakan (ya beda dong filmnya Wong Kar Wai sama filmnya Ko Ernest)
Penting untuk ‘ngeh’ dulu sama poin ini, karena kalau kita mau sejenak kembali ke Putri Marino, kita akan bisa menelaah bahwa tujuannya bikin puisi ya untuk kepuasan pribadi aja, lalu penerbit melihat ini sebagai peluang bisnis karena Putri Marino sudah punya audience-nya.
(soal penerbit ini nanti kita bahas lagi di poin-poin akhir yaa)
Jadi kalau kita kesal karena tulisannya nggak masuk ‘standar kelayakan’ kita yang sukanya puisi-puisi Goenawan Mohamad atau Aan Mansyur, ya kenapa marah? Kecualiiii… kecuali nih, puisi-pusi Putri Marino kemudian jadi puisi wajib di buku pelajaran Bahasa Indonesia anak-anak SD negeri atau menang sayembara puisi se-Indonesia.
2. Kritik itu kontekstual
“Semua orang punya hak untuk suka atau nggak suka sama sesuatu”, “Everybody is entitled for his / her opinion”, atau “Kritik bukan berarti bully”. Saya setuju kok sama ketiga statement ini. Orang boleh bikin apa saja dan orang lain boleh suka, boleh juga nggak suka. Bebas.
Namun saya pikir ini juga soal bagaimana kita mengekspresikan kesukaan / ketidaksukaan ini, apalagi sudah ke ranah publik. Pada konteks apa kita menyuarakannya? Untuk apa? Sebagai kritik konstruktif? Kepada siapa? Kepada si pembuat karya atau ke ekosistemnya secara keseluruhan?
1) “Your work is ‘shitty’ you know, you shouldn’t write / make movie / sing on the first place” dengan, 2) “Karya ini dangkal tanpa pesan yang kuat, mungkin ada penikmatnya karena tidak perlu berpikir untuk menerimanya.”
Komentar atau kritik kedua menurut saya cukup ‘harsh’, namun jelas poinnya dan bisa membawa kita ke percapakan lanjutkan misalnya seperti kenapa banyak orang yang suka karya yang untuk menerimanya tidak perlu pakai berpikir. Lagipula, nggak perlu banyak definisi kok untuk bilang kalau komentar pertama itu sekedar merendahkan dan menjurus ke ‘bullying’.
Lagipula, sebagaimana nggak semua komentar harus didengarkan, nggak semua komentar juga harus diutarakan, kan?
“LOH TAPI KAN STANDAR PUISI YANG LAYAK TERBIT JADI BUKU JADI TURUN DONG? MASA PUISI BEGINI DIJADIIN BUKU? MAU JADI APA KITA?”
Ini membawa saya ke poin ke-3, dan mungkin yang paling penting:
3. Mari bicara soal industri buku di Indonesia :)
Sebelumnya saya pernah menulis blog post berjudul ‘Curhat Hari Buku’. Kalau ada waktu mungkin teman-teman bisa baca juga tulisan tersebut karena sekali lagi, ini menjelaskan kenapa konteks persepektif saya jadi relevan: saya penulis dan saya punya gambaran, walau mungkin nggak utuh, tentang industri buku dengan mata-mata rantai: penulis, penerbit, penjual. Saya juga suka ngobrol dengan teman-teman editor, pembaca buku dan komunitas yang bergerak di bidang literasi.
Dari apa yang saya lihat, bisnis buku di Indonesia semakin hari semakin ‘menantang’. Selain mungkin minat baca di Indonesia nggak pernah tinggi, sekarang buku harus berebut perhatian dengan konten-konten media sosial, mulai dari yang visual, audio, ataupun audio visual. Secara kerja otak, membaca itu lebih ‘melelahkan’ dibanding nonton YouTube. Apalagi konten-konten medsos ini ‘gratis’. Buku-buku yang bergambar dan dipenuhi dengan foto pun semakin diminati. Walau nggak diback-up data, saya bisa bilang kalau market buku relatif tidak berkembang (CMIIW) kalau dibandingkan dengan market Instagram atau YouTube.
Mata-mata rantai industri buku pun harus menyesuaikan. Penulis seperti saya (yang nggak best seller hahaha) ya harus punya kerjaan lain yang ‘menghasilkan’. Dari sekian jenis pekerjaan yang saya lakukan, royalti dari buku boleh dibilang yang paling kecil dibandingkan dengan effort untuk bikinnya, itupun dipotong pajak. Royalti 250.000 pun kena pajak loh :) Ini adalah fakta penting yang memberi gambaran kepada kita bahwa bisa membuat karya yang idealis itu sebuah privilege. Not everyone can afford being a book author these days.
Tantangan tentu juga dirasakan oleh penerbit. Saya nggak pernah dicurhati langsung soal betapa ‘sulit’ posisi penerbit apalagi dengan kondisi toko buku yang sekarang lorong-lorongnya makin sempit karena harus berbagi lahan dengan merchandise, produk kecantikan bahkan air mineral. Menerbitkan karya seseorang yang sudah punya followers atau sudah dikenal publik, saya yakin, meningkatkan potensi penjualan. Saya nggak bilang kalau penerbit pasti memedulikan jumlah followers ketimbang kualitas karya, namun sekali lagi, saya pikir semua harus beradaptasi untuk tetap hidup kan?
Sekali lagi, saya nggak bisa bicara dari sudut pandang pengamat sastra dan banyak orang-orang yang lebih kompeten untuk bicara soal puisi. Namun saya pikir, justru di sini kritik terhadap Putri Marino dan karyanya bisa menjadi sesuatu yang relevan ketimbang sebuah bentuk perundungan.
4 Comments
puty kenapa ya aku selalu adem tiap abis baca2 hasil pemikiran kamu :)
Halo, selalu jadi silent reader tapi sekarang gatel untuk komentar ?. Setuju, nggak semua pendapat atau pikiran kita perlu disebarluaskan ke khalayak ramai, beberapa hal jauuuuh lebih baik kalo disimpan sendiri atau paling luas di lingkungan sendiri. Sekarang kira komen A, B, C tentang orang lain, terus pundung kalo ada yg kontra itu sebenernya ya kemungkinan besar komentar kita itu emang subjektif dan munculnya dari ego gak sih? Semakin tua emang bagusnya semakin woles sih ya :)
Halo, selalu jadi silent reader tapi sekarang gatel untuk komentar ?. Setuju, nggak semua pendapat atau pikiran kita perlu disebarluaskan ke khalayak ramai, beberapa hal jauuuuh lebih baik kalo disimpan sendiri atau paling luas di lingkungan sendiri. Sekarang kira komen A, B, C tentang orang lain, terus pundung kalo ada yg kontra itu sebenernya ya kemungkinan besar komentar kita itu emang subjektif dan munculnya dari ego gak sih? Semakin tua emang bagusnya semakin woles sih ya :)
Aku setuju banget Kak! Setiap buku ada pembacanya masing-masing. Kalau ada yang bilang “buku itu ga bagus” berarti buku itu not they cup of tea. Makanya perlu banget tau selera diri sendiri.