Hari ke-41 sejak pertama kali diumumkannya kasus positif covid-19 di Indonesia. Per tanggal 11 April 2020, pemerintah Indonesia mengumumkan 3842 kasus positif dengan 327 orang meninggal dunia akibat covid-19. 11 hari menjelang Bulan Ramadan, belum ada tanda-tanda kapan keadaan akan membaik. Berbagai rencana dibatalkan; bahkan untuk pertama kalinya dalam seumur hidup saya, semua sepertinya harus siap bahwa nggak akan ada buka puasa bersama, nggak akan ada acara jajan takjil di pasar kaget, nggak akan ada tarawih dan shalat ied.
Orang-orang yang tadinya masih optimis dan berbagi kutipan ‘Badai pasti berlalu’ mulai berubah pikiran. Termasuk saya. Pelan tapi pasti, kita mengerti kalau ‘sementara’, seperti hidup, tidak selamanya tapi bisa jadi lama. Pelan tapi pasti, kita menyadari bahwa sesuatu yang sementara dampaknya bisa jadi selamanya. Orang-orang mulai realistis dan berkata, “Okay, let’s define this as a new normal.”
Kemarin pagi saya mendengar dari beberapa teman bahwa mereka mendengar dentuman dan merasakan jendela bergetar. Ada yang berpendapat ini berasal dari dalam bumi, ada juga yang bilang bahwa ini adalah spacequake. Saya dan suami (yang sudah sebulan kerja dari rumah) hanya ketawa-ketawa pasrah waktu mendengar ini.
Setiap kali kami memandangi televisi dengan berita soal covid-19 di seluruh dunia, saya sering berimajinasi kalau ini seperti di film-film sci-fi di mana ada alien atau monster yang akan menyerang. Kalau ini film action, maka di sebuah tempat seharusnya sedang ada rapat rahasia para superhero atau para pemimpin dunia. Kalau ini film action, kita tinggal tunggu waktunya pertempuran di langit Manhattan, New York City. Sayangnya belum ada tanda-tanda superhero keluar kandang. New York City pun sedang hening.
Di saat begini, melihat foto-foto liburan yang terdahulu rasanya surreal. Memutar kembali potongan rekaman konser rasanya bitter sweet. Nggak pernah kepikiran akan ada masanya nobody can afford holiday, seberapapun uang yang kita punya. Saat melihat video jalan-jalan bareng ibu-ibu RT tiga bulanan lalu pun ada rasa yang susah diungkapkan; sebuah rasa yang lebih rumit kalau dibandingkan dengan rasa iri melihat foto liburan orang lain di Instagram :’))) (kalau sirik lebih gampang mendeteksi dan mengakuinya, sis)
Well, di post ini saya mau upload foto-foto lama waktu ke New York tahun 2018. Sejujurnya saya suka cringe kalau lihat caption post Instagram orang-orang bilang, “Kangen New York” sambil foto OOTD yang mana latar belakang Manhattan-nya juga blur; semacam riya berbalut rindu gitu ya~ (((riya berbalut rindu))) But I knew myself too well to say that it was just me being a judge-y hateful bitter person :p Because people naturally love their holiday version of themselves.
Well, so here I am saying that I miss New York City, or at least, the 2018-version-of-Puty who just won an award and believed that she could change the world. The-2018-version-of-Puty who was so sure that someday her artwork or any kind of work would be sold at Strand Bookstore. Here are some old photos selected, edited and posted by the-2020-version-of-Puty who is… quite optimistic that she would outlive the covid-19 pandemic.











Comment
Covid-19 ini sureal banget ya, Mbak. Saya suka nonton film-film apokaliptik, pos-apokaliptik, atau yang cerita soal bencana, termasuk wabah. Tapi saya nggak pernah nyangka bakal mengalami masa-masa ketika wabah itu benar-benar datang. Cuma, Covid-19 ini bikin saya akhirnya bisa baca Sampar-nya Camus. Hehehe.
Foto-foto New York-nya keren-keren, Mbak. Saya kayak lihat adegan-adegan dalam film-film Woody Allen. :D