Salah satu hal yang saya suka dari menulis di blog adalah kemudahan untuk menggali masa lalu. Apa yang dulu saya tulis mungkin sekarang sudah jadi sesuatu yang #Apeu atau nggak relevan lagi. Namun, di situ saya bisa mengira-ngira apakah saya bertumbuh atau malah mundur? Apakah keadaan membaik atau tidak?
Ada beberapa tulisan saya yang berisi ‘curhatan’ soal buku dan minat baca:
Tahun 2015 – I Think Indonesians Should Make Reading Cool Again
Tahun 2015 – Let’s Go Reading, Yuk Baca!
Tahun 2018 – Curhat Hari Buku
Tahun 2018 – Buibu Baca Buku Book Club
Tahun 2020 – Karya, Kritik dan Ekosistem Industri Buku
Kalau dibaca kembali, saya bisa bilang kalau curhatan saya 6 tahun yang lalu masih valid, begitu pun kondisi industri buku sepertinya nggak membaik kalau dibandingkan dengan 3 tahun yang lalu :’)
Belajar Di dan Dari Komunitas
Hal yang berbeda adalah, tanpa diduga (terutama oleh saya sendiri), Buibu Baca Buku Book Club (BBBBC) masih ada dengan jumlah teman yang bertambah :’)

Sekarang sudah ada 2 rekan yang membantu saya, bareng-bareng menjadi admin dan melangsungkan kegiatan, serta ada beberapa program rutin yang kami jalankan. Buibu Baca Buku Book Club juga tergabung dalam jaringan Komunitas Semua Murid Semua Guru klaster literasi dan berteman dengan komunitas-komunitas lain yang bergerak di bidang literasi. Literasi bukan hanya soal baca buku, tapi kebiasaan baca buku yang saya percaya dan ingin perjuangkan adalah adalah tentang kemampuan literasi, karena kemampuan literasi terkait erat dengan kemampuan berpikir kritis dan empati.
Bagi saya sendiri, mengurusi BBBBC adalah humbling experience. Saya belajar banyak sekali baik itu dari teman-teman yang berbagi bacaan mereka, dari narasumber yang sukarela diajak berdiskusi (yup, semuanya pro-bono), juga dari teman-teman komunitas yang saya ajak ngobrol. Berbagai komunitas punya perspektif dan misi yang berbeda karena masalah literasi di Indonesia juga beragam. Misalnya soal akses buku ke masyarakat termasuk masyarakat Indonesia di daerah terpencil (seperti 1001 Buku atau Book for Mountain), ada juga yang lebih fokus pada menjalankan program-program yang mendukung minat baca buku baik untuk anak (misalnya komunitas-komunitas membaca nyaring seperti Reading Bugs atau Komunitas Read Aloud Indonesia), ataupun umum dengan ‘niche‘ yang beragam seperti Bookish Indonesia atau Literasi Berkaki. Kalau mau disebutkan semua, nggak akan cukup satu blog post untuk menjelaskan kekaguman saya karena, jujur saja, menurut saya perjuangan di bidang literasi seperti berinvestasi tanpa tahu kapan dan bagaimana hasilnya akan dituai kelak.
Perjuangan Jangka Panjang Namun Penting
Literasi, minat baca atau industri buku adalah ranah dengan perjuangan jangka panjang. Apa yang saya tulis hari ini mungkin dimulai dari buku-buku yang saya baca waktu masih kecil yang artinya 20-25 tahun yang lalu. Perjuangan akan minat baca dan upaya untuk meningkatkan kemampuan literasi hari ini bisa jadi baru berdampak 2-3 dekade lagi; pada generasi berikutnya.
Saking panjangnya, mungkin ini juga yang menjadi alasan literasi, minat baca dan industri buku nggak menjadi prioritas pemerintah yang maksimal hanya bisa berkuasa 10 tahun. Banyak masalah di depan mata yang lebih ‘urgent’ untuk diselesaikan atau mungkin malahan ada yang berpikir bahwa buku sudah tergantikan oleh konten-konten di internet?
Ada 3 poin yang perlu saya utarakan:
- Membaca buku apapun formatnya (selama ‘cover to cover’) adalah tentang berpikir kritis dan memahami konteks. Hal ini tidak bisa tergantikan oleh artikel di konten digital yang cenderung parsial, apalagi sekarang orang semakin malas untuk membaca. Membaca buku adalah tentang ketekunan untuk memahami, belajar berempati dan memperluas sudut pandang. Saya nggak menafikan bahwa ada buku-buku yang tergantikan oleh konten-konten digital di internet tapi saya pikir lebih kepada buku-buku referensi, ensiklopedia atau yang sifatnya tutorial.
- Menulis dan story telling adalah tulang punggung pembuatan konten (yang ada manfaatnya). Video di YouTube? Butuh script. Podcast? Butuh script. Animasi? Butuh script. Saya percaya bahwa sampai kapanpun kita tetap butuh penulis yang kreatif dan berwawasan.
- Kemampuan literasi audiens secara umum juga akan mempengaruhi kualitas dari ‘demand’ atau permintaan konten. Semakin audiens tidak terbiasa dengan konten yang ‘serius’ (karena secara kemampuan literasi tidak mencukupi), semakin sedikit ruang kreator atau penulis untuk menciptakan konten yang ‘serius’. Apa yang terjadi kemudian? Konten yang beredar akan sesuai dengan ‘demand’, sehingga kita selalu akan dibanjiri konten ‘trashy’. Saya pernah membahas siklus ini di post ini.

Apakah kita pernah berpikir kalau rendahnya kualitas dan variasi konten yang beredar di TV hari ini nggak terjadi tiba-tiba, tapi pelan-pelan sejak 10-20 tahun yang lalu? Ini sangat mungkin terjadi karena kurangnya perhatian pada kemampuan literasi dan berpikir kritis masyarakat serta kualitas konten yang beredar di masyarakat. The damage has been done anyway and it will get worse.
Industri Buku, Negara, dan Pembaca
Walau masih jauh dari paham betul, saya pelan-pelan belajar memahami beberapa kekusutan di bidang literasi dan industri buku. Dalam hal ini, saya bisa bicara sebagai seorang penulis buku yang setiap kali mendapat royalti selalu mengerenyitkan dahi begitu melihat besarnya pajak yang diterapkan dari nilai royalti saya yang tidak seberapa. Maklum, bukan penulis mega-best-seller; baru punya 2 buku pula. Kadang saya berpikir, “Kok negara tega ya? Mana ada lagi yang bercita-cita menulis buku lagi kalau begini? Untung suami saya pegawai tetap di kantornya.”


Bagaimana negara ini mau memajukan industri Intellectual Property alias IP kalau royalti buku saja masih dikenai pajak setara hadiah dan penghargaan?
Apa yang saya tulis 2 tahun lalu di post ini masih relevan, dan rasanya malah semakin buruk setelah terjadi pandemi (baca berita ini, ini dan ini). Toko buku dan penerbit-penerbit besar semakin sulit untuk berkutik. Saya harus mengucapkan perpisahan kepada 2 editor kesayangan saya secara profesional, walaupun kami tetap menjadi teman baik. Saya tidak punya data tapi saya punya pengalaman pribadi yang menyedihkan.
Memang toko buku indie / online / reseller buku tetap menggeliat malahan bertambah dengan channel-channel dan kemudahan-kemudahan jualan online. Walau demikian, saya pikir fenomena ini tidak representatif akan kondisi literasi secara keseluruhan di Indonesia. Memang ada relung-relung segmen pembaca yang ‘menghidupi’ toko buku dan penerbit indie, namun jumlahnya terbatas dan relatif tidak berkembang jika kita bandingkan dengan peningkatan pelanggan Netflix. Dengan kata lain, yang sudah terlanjur menyukai buku akan terus membeli dan mengoleksi. Namun jumlah dan perkembangannya tidak sebanding dengan perkembangan jumlah penikmat konten lain.
By the way, saya nggak menyalahkan Netflix loh ya, karena saya juga pelanggan dan penonton Netflix. Ini untuk perbandingan saja :)
Hal ini sebenarnya memiliki efek domino. Penerbit major yang biasanya menyuplai buku-buku kepada masyarakat umum semakin kehilangan kesempatan untuk menjadi ‘idealis’. Saya paham soal ini dan beberapa kali ngobrol dengan orang dari industri penerbitan; ada dorongan untuk menerbitkan naskah yang akan laris. Nggak heran banyak ‘selebgram’ atau ‘artis’ yang menerbitkan buku karena berpotensi untuk ‘jualan’ ke followers-nya, atau naskah-naskah dari wattpad dan platform lain yang disadur menjadi buku karena dianggap sudah punya ‘popularitas’. BBBBC sempat ngobrol dengan Nomena, editor dari penerbit Bukune yang juga memberikan tips untuk mencoba publikasikan karya dulu di platform lain baru berlanjut ke buku. Nggak salah? Nggak. Ideal? Nggak.
Kemana hal ini berimbas? Menurut saya ini bisa jadi berimbas ke kualitas penulis berikutnya, bagaimana persepsi mereka atas tulisan sebagai karya yang diterbitkan. Dulu mungkin ada yang bercita-cita untuk bisa menulis dengan baik agar karyanya bisa diterbitkan, Sekarang para calon penulis atau pembuat konten bisa jadi lebih di-drive oleh ‘engangement’. Saya nggak bilang semua calon penulis akan kehilangan idealismenya, tapi situasi seperti ini jelas nggak kondusif untuk menghasilkan penulis-penulis buku dan pembaca-pembaca buku baru dalam jumlah besar.
Peran Kelas Menengah
Menurut saya banyak sekali PR kita bersama yang tentu banyak harus disupport negara. Saya pribadi bersyukur karena saya memberi kesempatan pada diri saya sendiri untuk coba melakukan sedikit yang saya bisa melalui #BuibuBacaBuku @bbbbookclub.
Sering kali saya merasa nggak ada apa-apanya, bahwa apa yang saya pikir sebuah kontribusi ternyata hanya sebatas postingan-postingan di dunia maya. Namun obrolan saya dengan Alin soal buku dan BTS seperti mendorong saya untuk semangat lagi. RM BTS ternyata hobi membaca dan bacaannya memberi pengaruh bukan hanya kepada karya-karyanya tapi juga kepada fans-fansnya untuk mencari dan membaca apa yang ada dalam daftar bacaannya RM, sekalipun bukunya tidak ringan.

Ternyata dulu RM alias Nam Joon ini suka baca buku karena diajak orang tuanya ke perpustakaan! Ibunya tentu saja suka baca juga dan mencontohkan hobi ini kepada anaknya. And look where he is now! Dan betapa besar dampaknya hari ini!
Saya pikir nggak ada salahnya untuk bercita-cita creating probability of influencing more mom to be like Nam Joon’s. We’ll never know, right? Walau banyak program gimmick-gimmick-nya, tapi saya pikir, we need to do and use whatever we can have. Even if it looks shallow, tapi semua pintu layak di buka agar ekosistem buku dan literasi lebih inklusif; bukan hanya untuk orang-orang dianggap kutu buku saja. Banyak yang perlu kita coba untuk memantik semangat baca semua lini, termasuk kelas menengah. Atau terutama kelas menengah.
Untuk saya pribadi, melakukan gerakan yang tertuju pada kelas menengah adalah hal yang cukup strategis mengingat kelas menengah memiliki sumber daya dan pilihan. Secara statistik, kelas menengah punya potensi untuk melakukan perubahan kecil dalam jumlah besar.
Ada begitu banyak masalah yang nggak bisa diselesaikan sendirian, tapi menunggu sampai semua orang mau bergerak bersama-sama juga nggak menyelesaikan masalah. Walau post-postnya BBBBC sering terdengar sebagai sesuatu yang #KelasMenengahNgehe, tapi untuk saat ini saya pikir nggak apa-apa kok BBBBC bercita-cita mengajak lebih banyak ibu-ibu kelas menengah untuk membaca agar kelak menularkan hobi ini kepada keluarga, anak-anaknya dan lebih luas lagi.
Menengah tapi jangan meneng, ae~
2 Comments
Bener banget, dulu jaman kecil harga buku lebih mahal dari skrg dan dominan buku bagus ada di gramedia dan gunung agung. Mau beli komik aja gak diksh hiks tapi stlh punya anak berasa knp ortu dulu kaya gitu. Meski skrg akses informasi tinggal gugel tapi kalau baca buku lebih seneng bentuk fisik even ya e book nya juga sebetulnya ok :D
kalau melihat antusias ibu-ibu untuk beli buku di bbw setiap tahun saya percaya kalau ibu-ibu sebenernya pengen anaknya jd rajin membaca setidaknya membuat anak mengenal bila ada media lain selain gadget mereka, namun pe-er banget buat ibu-ibu untuk sering membersamai anak dengan bukunya krn ibu juga punya semacam kebiasaan jelek kl anak pegang buku ibu bisa maen hp. xixixi. akhirnya lama-lama anak jadi kurang tertarik dg buku krn gak ada pendampingan yang menyenangkan.