Saya dulu termasuk orang yang berpikiran “Masa pola pikir kita masih tradisional aja sih, harusnya lebih ____ supaya lebih maju.” Hari ini, seiring dengan berubahnya zaman dan bertambahnya teman serta bacaan, saya mempertanyakan kembali, “Jadi, pola pikir yang ‘maju’ itu seperti apa sih?” Nggak sulit untuk menyadari bahwa definisi ‘maju’ saya kala itu adalah pola pikir ‘barat’. Hal ini wajar karena informasi dan konten yang saya konsumsi (bacaan, tontonan, musik, dll) memang kebanyakan asal barat. Apakah salah? Rasanya nggak, karena memang begitulah standar dunia saat itu dan siapa pun perlu beradaptasi. Semua orang harus bisa Bahasa Inggris, harus berpikiran ‘terbuka’, dan harus ‘speak up’ untuk menaklukan dunia.
Semalam saya baru selesai membaca buku ‘The Culture Map’ karangan Erin Meyer, seorang professor INSEAD business school asal Amerika Serikat. Buku ‘The Culture Map’ menjelaskan bagaimana latar belakang budaya seseorang akan mempengaruhinya di lingkungan kerja, setidaknya dalam 8 aspek:

- Komunikasi – blak-blakan vs kontekstual alias banyak kode-kode
- Evaluasi – mengkritik secara langsung vs tidak langsung / tidak terbuka
- Persuasi – teoritis vs praktis
- Memimpin – egaliter vs mematuhi hierarki
- Pengambilan keputusan – konsensual vs top-down
- Membangun kepercayaan – profesional vs personal
- Menyatakan perbedaan pendapat – konfrontatif vs menghindari konfrontasi
- Penjadwalan – linear vs fleksibel

Menurut saya bukunya bagus banget walaupun saya sudah nggak bekerja di lingkungan multi-cultural lagi. Banyak sekali insight yang saya dapat dan melengkapi informasi yang saya dapat dari buku-buku lain yang sebelumnya saya baca, misalnya buku ‘The Japanese Mind’ oleh Roger Davies dan Osamu Ikeno. Dari buku ‘The Japanese Mind’ saya dapat gambaran soal ‘groupism‘ dan bagaimana orang Asia timur sangat menjunjung harmoni dan hierarki. Membaca buku ‘The Culture Map’ membuat saya bisa membayangkan bagaimana latar belakang budaya tersebut kemudian berimplikasi pada lingkup profesional, misalnya pada pengambilan keputusan ala Jepang yang relatif lebih lambat dan ide-ide segar yang jarang bisa cepat dieksekusi karena harus menunggu pendapat dan persetujuan para senior.
Dulu Jepang tetap bisa menganut budaya sendiri sementara brand-brandnya merajai pasar dunia. Jepang bisa ‘maju’ tanpa harus mengubah tradisi mereka menjadi kebarat-baratan. Namun, pelan-pelan brand-brand dan perusahaan Jepang tergeser, bukan karena mereka tidak bisa kebarat-baratan namun karena tidak cocok dengan situasi hari ini di mana segalanya berubah dengan cepat. Sistem ‘Ringi’ tentu sudah tidak cocok lagi. (Catatan: buku Erin Meyer terbit tahun 2015 dan disebutkan bahwa saat itu pun banyak perusahaan Jepang sudah menyadari hal ini dan mengadaptasi sistem ‘Ringi’ untuk pengambilan keputusan yang lebih cepat)
Kesimpulan saya: ‘maju’ itu relatif, tapi penting bagi kita untuk paham apa yang sedang terjadi di dunia dan bagaimana kita (dengan segala karakteristik yang dibentuk oleh latar belakang budaya kita) bisa beradaptasi dengan situasi tersebut.
Barat yang Mana?
Bekerja lima tahun di perusahaan asal Perancis juga menyadarkan saya akan satu hal: pola pikir kebarat-baratan itu harus dijelaskan lagi: Barat yang mana dulu nih? :’) Beberapa kali saya dikasih tau, “Beda kok antara kerja di Total dan Chevron. Di Chevron, bos-bosnya lebih koboy.”

Baru setelah baca buku ‘The Culture Map’ ini saya seperti diingatkan kalau ‘kebarat-barat-an’ itu beda-beda juga, dan ini bisa dipengaruhi oleh faktor sejarah sebuah bangsa juga, misalnya Prancis lebih punya hierarki dalam lingkup pekerjaan karena sejak dulu punya raja, sementara negara-negara Scandinavia semacam Islandia atau Denmark lebih egaliter karena konon ya memang bangsa Viking itu egaliter ‘dari sananya’*. (Soal ini saya masih coba cari referensi lain karena masih ada perdebatan, tapi masuk akal sih)

Tentu saya nggak bermaksud untuk sok tau menjelaskan budaya bangsa lain hanya berdasarkan satu buku yang baru saya baca. Saya menyadari kalau budaya dipengaruhi oleh banyak sekali faktor dan perlu pembahasan panjang serta mendalam. Buku ‘The Culture Map’ adalah buku bisnis dan manajemen, bukan buku antropologi. Banyak sekali yang simplifikasi dan generalisasi di buku tersebut.
Ya tapi justru itu, saya malah mau mengingatkan hal tersebut kembali, terutama ke diri saya sendiri: budaya atau culture itu berkaitan dengan banyak sekali hal dan nggak bisa ‘dicomot‘ begitu saja. They come as package and also with consequences, misalnya kita mungkin suka sekali dengan bangsa Jepang yang teratur, tertib, dan sopan di tempat umum. Namun, kita juga perlu memandang bahwa budaya tersebut punya implikasi pada aspek lain, misalnya ‘tekanan yang tinggi’ untuk menjadi sesuai dengan ekspektasi masyarakat agar tercipta harmoni.
Parenting Style & Budaya
Hal ini sebenarnya berhubungan dengan sebuah pemikiran yang sudah cukup lama ada di kepala saya kaitannya dengan pola asuh alias parenting. Ini pernah saya singgung pada tahun 2017 di post Modyarhood #4: 4 Pelajaran Penting Dari Buku-Buku Parenting. Apa yang saya sebutkan pada post tersebut belum berubah, bahwasannya dalam hal pola asuh (parenting), ‘lebih maju’ atau ‘lebih baik’ itu relatif dan kontekstual banget. Kita nggak bisa serta merta mengaplikasikan style parenting ala Denmark lalu mengharapkan anak kita tumbuh seperti anak Denmark. Style tersebut ya karena mungkin cocok untuk budaya Denmark, serta situasi politik, geografis, atau ekonomi negara tersebut. Sama halnya dengan bicara soal pola asuh ‘tiger mom’ yang mungkin terdengar ‘mengerikan’ untuk sebagian orang tua, namun kalau membaca bukunya Amy Chua atau ‘Beyond the Tiger Mom: East-West Parenting for the Global Age’-nya Maya Thiagarajan dengan seksama, kita bisa lebih paham kalau sense of competition pada anak itu penting juga. At least, itu yang saya percaya yang berkutat dengan kerasnya hidup di Jadebotabek selama 30 tahun lebih.

Pemahaman akan konteks situasi dan budaya ini menurut saya penting sekali untuk menghindari glorifikasi budaya tertentu dan memandang remeh budaya sendiri. Bukannya julid atau gimana, tapi saya pribadi termasuk orang tua yang memilih untuk mengajarkan anak Bahasa ibu-nya sendiri dulu sebelum belajar bahasa asing. Kenapa? Karena banyak gagasan, fenomena, sampai perasaan yang akan pas kalau disampaikan dalam bahasa ibu, sesederhana panggilan semacam “Mbak” atau “Mas” yang dirangkai dengan nama seseorang. Dalam Bahasa Inggris, sejauh yang saya tau, nggak ada padanannya, padahal kalau di Indonesia, kita perlu sense banget untuk paham kapan harus panggil “Mbak”, “Bu”, “Ci”, dst. Padahal ya budaya Indonesia kan masih kental dengan konsep menghormati yang lebih tua. Walau mungkin sudah banyak orang yang meninggalkan konsep ini, tapi bukan artinya konsep ini ‘nggak maju’. Orang Korea bahkan merasa perlu untuk bertanya umur kita saat berkenalan, bukan karena nggak sopan, tapi justru supaya sopan mereka perlu tahu dulu bagaimana meng-address lawan bicaranya.
Budaya Indonesia dengan segala aspeknya mungkin kadang membuat sebagian orang merasa “HADEHHH, ORANG INDONESIA GINI AMAT SIHHHHH…” but again, it comes in package. Trait orang Indonesia yang ‘nrimo’ dan ‘nggak berani protes’ bisa jadi trait yang bikin kita nggak berkembang pesat but at the same time lebih resilien dalam menghadapi cobaan. Is it good? Is it bad? Tergantung konteksnya.
Kembali menyinggung soal buku ‘The Culture Map’, saat membacanya saya seperti di suruh zoom out dan menilai diri saya sendiri dan ternyata saya tipikal Asia banget: takut merusak hubungan jadi sering ngomong berbelit-belit, nggak enakan menolak atau mengkritik secara langsung, suka membangun hubungan yang personal sekalipun dalam konteks profesional dan menganut hierarki (walau nggak ekstrim).
Waktu kerja dulu, saya suka merasa kalau saya terlalu “Indonesia banget” maka saya nggak bisa sukses. Saya lalu merasa bahwa kalau mau sukses, saya harus lebih ‘blak-blakan’ seperti orang bule dan nggak ‘take it personally’. I tried really hard dan mungkin karena itu di kantor dulu banyak yang merasa saya ‘outspoken’, padahal sebetulnya ‘overthinking’ juga habis itu HAHAHAHA. Setelah saya pikir lagi, lebih ‘blak-blakan’ bukan artinya lebih maju tapi lebih sesuai sama tempat kerja saya. Seandainya saya kerja di perusahaan Jepang, ya mungkin beda lagi ceritanya.
Panduan Parenting: Berdasarkan Siapa?
Bicara soal parenting atau pola asuh, belakangan buku-buku parenting ala luar negeri semakin populer. Buku-buku semacam ‘Bringing Up Bebe’ atau ‘The Danish Way of Parenting’ juga sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Di satu sisi, saya senang karena artinya orang tua di Indonesia memiliki lebih banyak referensi dan wawasan seputar pola asuh. Namun, di sisi lain, saya pikir orang tua perlu berpikir lebih luas dan mendalam lagi soal pola asuh kepada anak, karena ini bukan hanya sekadar gaya-gayaan “I wanna be like French Mom”. Pada buku ‘Bringing up Bebe’, diceritakan bahwa kebanyakan ibu-ibu di Perancis sudah berhenti menyusui ketika anak usia 3 bulan, lebih dari itu menyusui bisa jadi dianggap ‘animalistic’. Di satu sisi, ini bisa jadi keren karena si ibu bisa langsung kembali bekerja dan back in shape, namun perlu diingat bahwa fakta ini didukung oleh sistem day care yang mumpuni di Perancis dan hubungan orang tua – anak di hari tua yang tidak seerat orang-orang Asia pada umumnya (di Asia adalah wajar jika di hari tua anak bertanggung jawab mengurus orang tuanya).

Menurut saya, kita perlu mempertanyakan lagi, seperti apa situasi dan kondisi kita, serta apa sih yang kita inginkan bagi anak kita di kemudian hari?
Dunia terus berubah dan perubahannya makin cepat. Kita semakin punya banyak informasi dan referensi. Percampuran budaya tentu semakin umum terjadi. Jadi saya pikir, saat ini yang penting adalah justru mengenali diri dan budaya sendiri; memahami akar dan belajar bagaimana cara terbaik untuk beradaptasi namun tetap nyaman untuk diri sendiri. Hari ini K-pop ada di posisi yang mungkin nggak terbayang oleh kita waktu ‘Friends’ season 4 tayang, but let’s look at the world today! Waktu ngobrol soal ini sama Alin, Alin dengan semangat menjelaskan kalau seterkenal apapun BTS, RM alias Nam Joon masih balik ke rumah dan ‘dikeplak’ sama ibunya, dan jelas saya nggak akan bilang itu hal yang ‘kuno’ atau ‘terbelakang’.
Sebagai ibu-ibu Indonesia yang juga menyusui anak selama 2 tahun dan masih menerapkan co-sleeping, tentu saja saya akan bahagia kalau kelak anak saya sukses dia nggak akan lupa sama keluarganya dan mau mendoakan orang tuanya :)
***
References
Alexander, Jessica Joelle. The Danish Way of Parenting. Penguin USA, 2012.
Davies, Roger. The Japanese Mind Understanding Contemporary Japanese Culture. Tuttle, 2002.
Druckerman, Pamela. Bringing up Bebe: One American Mother Discovers the Wisdom of French Parenting. Penguin Press, 2012.
Meyer, Erin. The Culture Map: Decoding How People Think, Lead, and Get Things Done across Cultures. PublicAffairs, 2015.
4 Comments
Halo! Saya pernah baca dan bandingin parenting2 di beberapa negara eropa vs tipe amerikanya amy chua dam sempet nulis https://apennyformypensieve.wordpress.com/2019/10/22/2946/?preview=true. Salah satu quote yg paling diinget dari :
“French parents are not superior, they just have it all easier”?
Thanks ya buat rekomendasi bukunya!
Halo! Saya pernah baca dan bandingin parenting2 di beberapa negara eropa vs tipe amerikanya amy chua dam sempet nulis https://apennyformypensieve.wordpress.com/2019/10/22/2946/?preview=true. Salah satu quote yg paling diinget dari :
“French parents are not superior, they just have it all easier”?
Thanks ya buat rekomendasi bukunya!
Wah review dan refleksinya menarik. Jadi pengen baca.
Hana ngerasa lebih berani outspoken atau asertif juga di dunia kerja meski kerja di perusahaan Indonesia tapi lebih karena Hana ga mau ditindas sih dan ga mau stress kalau ada sesuatu yang menganjal terus dipendam ??
Setuju juga kalau ga bisa tiru semua hal yang terlihat bagus di budaya luar, harus dipilih pilih dan disesuaikan lagi juga.
Baruu aja bikin tulisan di blog tentang pola pikir manusia, eh kebetulan banget mba Puty bahas tentang Culture Map. Makasih banyak sudah menuliskan ini, bukunya kayaknya bakal jadi salah satu referensiku :’)