Sejak kemarin, di Twitter dan beberapa media online banyak yang membahas statement Fauzi Bowo terkait kasus pemerkosaan yang terjadi belakangan ini.
Saat itu, Fauzi memberi pernyataan yang dinilai oleh banyak kalangan menyudutkan korban. “Bayangkan saja kalau orang naik mikrolet duduknya pakai rok mini, kan agak gerah juga,” kata Foke sembari bercanda. “Sama kayak orang naik motor, pakai celana pendek ketat lagi, itu yang di belakangnya bisa gyang-goyang.” (Tempo Interaktif)
Ini kemudian mengundang protes dari pihak ‘perempuan’ hingga pada hari ini digelar demo berjudul “Aksi Rok Mini” di Bundaran HI. Tertarik soal aksi ini, saya mengecek tagar #aksirokmini di Twitter. Beberapa hasil yang menarik adalah line seperti “My rok mini is my right! Foke you!” dan yang menarik adalah “Don’t tell women what to wear, tell men not to rape!”
Sebetulnya saya mencari beberapa sumber berita dan menemukan bahwa sebetulnya “Aksi Rok Mini” adalah aksi perempuan menolak pemerkosaan dan kabarnya, nggak harus pakai rok mini untuk ikutan demo ini. Saya dapat menangkap pesan demo ini, bahwa ketika kasus pemerkosaan terjadi, jangan sampai malah si korban yang disalahkan. Jangan sampai ada generalisasi bahwa pemerkosaan terjadi karena wanita yang berpakaian minim, dan menimbulkan pikiran macam-macam bagi pelaku.
Soal itu, saya setuju. Saya juga sependapat bahwa sebagai pejabat, statement Fauzi Bowo di atas rasanya kurang intelek. Namun saya pikir-pikir, pernyataan itu tidak sepenuhnya salah (walaupun saya meragukan juga apakah Fauzi Bowo tau rasanya naik mikrolet, hehe.) Namun lagi, IMHO, dari yang saya baca, “Aksi Rok Mini” ini menjadi agak bias. Kenapa namanya harus Aksi Rok Mini? Kenapa simbolnya itu? Kenapa jadi seperti fokusnya bukan soal ‘pemerkosaan dan perlindungan terhadap wanita’ melainkan soal ‘kebebasan wanita berpakaian di ruang publik’?
Terpancing dengan baris “Don’t tell women what to wear, tell men not to rape!” saya pun menuliskan beberapa tweet mengenai “Aksi Rok Mini” ini, walaupun sempat agak ragu.
Pada intinya, menurut saya “Don’t tell women what to wear, tell men not to rape!” adalah hal yang belum bisa diterapkan di Indonesia. Secara kultur ketimuran, kita masih menganut norma-norma agama dan kesopanan yang meliputi ‘kewajaran’ dalam berpakaian. Bagi saya, statement tersebut terlalu ‘western‘ dan agak egois kalau mau diterapkan di sini. Jakarta bukan Amsterdam dimana laki-laki dan perempuan (atau sesama laki-laki) bisa berciuman di stasiun tanpa ada yang peduli apalagi bisik-bisik. As for me, we, women, can’t just act and dress and demonstrate like we’re European or North American to show that we are sophisticated and modern. Inilah poin utama saya.
Menurut saya, perempuan modern, sophisticated, berpola-pikir maju, elegan, itu bukan perempuan yang bisa menerima dan mengikuti budaya modern ala AS atau Eropa. Perempuan yang modern dan berpandangan ke depan seharusnya perempuan yang bisa beradaptasi dengan lingkungan dan zaman. Perempuan yang cerdas adalah perempuan yang tau bagaimana harus menempatkan dirinya di timur, atau barat. In addition, personally, perempuan yang elegan adalah perempuan yang punya value dalam dirinya.
Saya sebagai perempuan menyayangkan jika “Aksi Rok Mini” ini menjadi beda maknanya. Jangan sampai aksi ini menjadi representasi perempuan Indonesia, sepertinya perempuan Indonesia demonstrasi pakai rok mini di jalan raya menuntut kebebasan untuk pakai rok mini di angkot tanpa harus takut diperkosa. Saya keberatan. Saya tidak men-judge perempuan yang pakai rok mini, tapi saya sadar betul kalau pengguna angkot itu heterogen. Nggak semua penggunanya siap dengan ke’modern’-an dan segala ‘hak-hak feminis’ kita.
Personally (lagi), sebagai perempuan, saya tidak merasa tersinggung apabila perempuan diingatkan untuk berpakaian sopan. Saya malah merasa dihargai kok. Lagipula, kalau kita memang cerdas, buat apa sih over-reactive menanggapi becandaan gubernur yang sehari-hari kita “Foke You!”-in setiap kali jalanan macet?
———–
(Picture is taken from DeadlyVintageSweet.com)
Leave a Reply