Sebelumnya, saya mau minta maaf kalau belakangan isi blog ini kebanyakan tentang traveling. Ini bukan travel blog, namun dua tahun belakangan ini saya cukup banyak jalan-jalan. Ikutan tren? Bukan. Duitnya ya memang baru ada dua tahun belakangan sejak saya mulai kerja, Bro & Sis.
Semalam saya lihat Ariev nge-twit sebuah link yang berujudul “Godaan Traveling dan Kesadaran Investasi“. Ariev bilang dia ‘kesentil’ sama artikel ini. Ternyata tulisan tersebut merujuk ke sebuah tulisan di Tempo yang berjudul “Menabung, Berlibur, atau Gadget?” Bukannya kesentil, saya malah tertarik untuk menulis tulisan ini. Tulisan yang sebetulnya pernah saya post 2 tahun lalu ini. Saya senang banget karena tulisan tersebut (setidaknya sedikit) menginspirasi salah seorang teman yang saya kagumi, Prisanti Putri, untuk mewujudkkan mimpinya pergi ke Jepang. 2 tahun berlalu sejak saya menulis itu, bepergian ke luar negeri rasanya semakin in vogue. Many people travel abroad. Many people write about it. Some even got into hot debate about calling oneself a ‘travel writer’. Some just love to brag about it. Some call themselves ‘traveler’ or ‘backpacker’.
Apakah saya ada masalah dengan tren ini? Enggak lah. Saya senang membaca cerita dan melihat foto-foto dari orang-orang yang bepergian ke luar negeri. Sama seperti saya, mereka keluar dari zona nyaman yang kita sebut rumah. Beberapa mewujudkan impian, mencoret beberapa poin di life bucket list mereka. Namun lama lama sepertinya orang-orang mulai melihat traveling ke luar negeri sebagai gaya hidup. Traveling is just cool. Yes it is, but if you only see it as a cool thing, you certainly miss the point. Even worse, kasihan orang-orang yang sinis dan berpendapat bahwa jalan-jalan keluar negeri adalah gaya-gayaan dan pemborosan belaka. They definitely miss a lot. I realize this from the way society compares traveling with keeping up with latest gadget trend. Well, mungkin artikel di Tempo menyebutnya ‘berlibur’ yang diasosiasikan dengan ‘senang-senang’, namun percayalah, jalan-jalan ke luar negeri tidak hanya sekedar senang-senang.
Setelah beberapa kali jalan-jalan ke luar negeri dengan uang sendiri, beberapa orang mungkin memasukkan saya ke kategori ‘si perempuan lajang yang boros dan suka senang-senang’. Eh tunggu dulu, saya selalu alokasi 30% penghasilan saya untuk investasi dan alhamdulillah nggak pernah lupa menyisihkannya untuk berzakat. Amit-amit deh sampai punya hutang kartu kredit. Nah, lalu traveling pakai apa? Tabungan. Yap, sisa pendapatan setelah dipotong investasi, kewajiban-kewajiban dan biaya hidup yang saya tabungkan itu yang saya gunakan untuk traveling, tentunya dengan cut-off tertentu yang saya alokasikan untuk dana darurat.
Jadi nggak punya tabungan? Ya, in term of liquid money, nggak banyak. Jadi pilih traveling? Ya.
Apa pertimbangannya?
First of all, traveling bagi saya bukanlah sekedar gaya hidup melainkan hal yang saya usahakan dengan penuh perjuangan. Saya memang bukan backpacker, tapi saya selalu cari tiket dan akomodasi semurah mungkin. Saya selalu bikin itinerary karena saya ingin mengoptimalkan perjalanan saya. Ke luar negeri buat saya lebih dari sekedar datang, bilang “touch down!“, ngetwit (apalagi sampe bikin hashtag khusus hahaha :p), foto-foto lalu cari oleh-oleh tanda kita sudah sampai luar negeri. Ke luar negeri tidak harus untuk party atau belanja seperti yang mungkin dipikirkan orang Indonesia kebanyakan saat ini.
So, here is a list why I chose traveling (for now) over saving liquid money or… hmm… latest gadget.
- Timing is a bitch
Saya adalah tipe perempuan yang cenderung konservatif. Bahkan 2 tahun sebelum saya merencanakan untuk menikah tahun depan, yang saya pikirkan adalah saya akan menikah sebelum umur 27, akan (insya Allah) punya anak dan akan bertanggung jawab untuk sebuah rumah tangga. Saya nggak akan jalan-jalan sendiri atau bareng teman-teman perempuan, menginap di hostel yang satu kamar isinya 12 orang,ngecengin pria-pria Mediterania di kampung halaman mereka, naik kereta berhari-hari, atau kayang di depan landmark suatu kota kelak berkeluarga. Sekarang adalah masa-masanya saya bisa melakukan hal-hal lucu yang nanti akan saya ceritakan kepada anak cucu saya :) Di samping itu, saya percaya banget setelah berkeluarga akan ada rezekinya lagi hehehe. - It enriches yourself
Like it’s always said, “Travel is the only thing you buy that makes you richer.” Clothes and gadget can go out of date, but experiences don’t expiry. Akan banyak sekali pengalaman berkesan dari mengunjungi tempat terkenal dan mengetahui sejarah (plus filosofinya), bertemu dengan banyak orang dan mendengar ceritanya, dan masih banyak lagi. - It gets you to know yourself better
Ini yang saya rasakan terutama saat solo traveling. Semakin banyak saya bepergian, semakin saya mengenal diri saya karena . Saya banyak berkontemplasi, dan tentu saja saya semakin tahu betapa saya dapat mengandalkan diri sendiri.
- It pushes you to go beyond the limit you drew yourself back at home
As I said before, the only one that we can rely on is ourself. Saya adalah orang yang paling nggak hafal jalan sedunia, hobinya nyasar, dan nggak bisa nyetir. Orang-orang suka nggak percaya kalau saya bisa keliling-keliling di negeri orang dengan mengandalkan peta dan informasi dari internet. Contoh lainnya adalah, saya dulu nggak percaya saya bisa bertahan di suhu -16 derajat celcius (kulkas kaliiiiii bro!). Namun waktu di Trondheim, saya terpaksa pulang malam, jalan kaki dan agak naik bukit di suhu tersebut. Memang sempat rasanya mau mati, tapi ternyata, I’m here and alive. Seriously, what doesn’t kill you makes you stronger! - It teaches you to adapt and to tolerate
Traveling abroad will widen your perspective. Ke luar negeri mengajarkan kita untuk menyesuaikan diri sama keadaan. Misalnya saya tipe yang suka makan apa saja dan suka mencoba local cuisine (selama tidak jelas-jelas mengandung babi dan darah), namun saya pernah Euro Trip bareng Mbak Anis yang lebih suka makan di food chain yang sudah familiar dengan orang Indonesia. Saya tentu menyesuaikan diri, Mbak Anis juga menyesuaikan diri dengan bawa sambal sachet, dan kami pun mengatur jadwal makan bergantian. Kadang makan makanan lokal, kadang di McDonalds. Hehehe. - It teaches you be responsible
Saat traveling, apalagi ke negara yang jauh, boleh dibilang nggak ada yang kenal kita. Kita bebas melakukan apa saja. Traveling ke negara yang tidak bermayoritas Muslim menguji saya untuk tidak sampai ketinggalan Shalat wajib dan stick with the rule of non-alcoholic drink. Tanggung jawab juga bukan hanya soal kewajiban tapi juga misalnya soal tanggung jawab terhadap budget yang telah kita rencakanan dan nggak menghabiskannya untuk yang lain-lain. - It motivates you (and maybe your children later)
Untuk saya, traveling ke negara maju betul-betul menginspirasi dan memotivasi saya. Norwegia, negara kaya dan penghasil minyak namun begitu sederhana. Jepang, pekerja keras, tepat waktu, modern namun tetap menjunjung kebudayaannya. Singapura, negara cuma seuprit, nggak punya bentang alam, tapi berhasil menarik kita semua untuk ke sana. Malaysia, negara tetangga yang dulu berguru sama kita pelan-pelan meninggalkan kita. Seriously, such things motivate me to be better, to make a better country. One more thing; you know why I dream to travel? Because my father told me his travel stories :) - It humbles you
This is my favorite quote about traveling from Scott Cameron: “Travel makes one modest. You see what a tiny place you occupy in the world.” - It changes you
Untuk saya, setiap pulang dari sebuah perjalanan, saya selalu belajar sesuatu yang baru. Setiap perjalanan mempengaruhi dan memotivasi saya untuk menjadi orang yang lebih bijaksana. Personally, saya menjadi lebih berpikiran terbuka, cepat beradaptasi, lebih bertanggung jawab, bekerja keras dan pantang menyerah untuk bertahan hidup. If I could survive -16 degree, why wouldn’t I survive in tropical heaven with smiling people like here? :) Remember, small change might bring another change (might me a great one!) and you’ll never know :) - It makes you learn that there’s no place like home
Memang melihat negara lain sering membuat kita jadi membanding-bandingkan Indonesia dengan negara lain (bahkan untuk beberapa orang mungkin jadi nggak mau pulang). However, after some trips, I know I belong with my family and my loves ones, surrounded by uncountable Rumah Makan Padang and, don’t forget, pempek Palembang :9
Sebagai penutup, ada link tulisan dari Rhenald Kasali yang cukup terkenal berjudul Passport. Mungkin ada yang sudah baca, tapi untuk yang belum baca dan masih suka sinis soal pergi ke luar negeri, silakan baca. Menginspirasi deh :)
Leave a Reply