Tentang ‘Privilege’

Sebetulnya sudah cukup lama topik ini bertengger di daftar to-write-list. Namun seperti biasa, pekerjaan selalu menghadang, hehehe. Eh kebetulan datanglah momen yang pas buat nulis, yaitu saat Maudy Ayunda berbagi surat penerimaannya di 2 universitas Ivy League; Harvard dan Stanford. GILA!

First of all, saya harus bilang kalau saya ini ngefans sama Maudy sebagai figur publik. Cantik, multi talenta (akting, nyanyi, nulis buku, semua bisa!), classy dan pinter! Selain itu saya juga bisa lihat bagaimana dia menggunakan pengaruhnya itu ke arah yang bagus banget; menginspirasi para perempuan muda untuk berkarya dan menempuh pendidikan setinggi-tingginya.

SEMPURNA~

Saya sih, walau bukan siapa-siapanya ikut bangga dong dengan segala pencapaian dia. Buat saya, Maudy Ayunda itu bukti bahwa perempuan itu bisa pintar dan cantik sekaligus, karena selama ini kita selalu menganggap bahwa kecantikan dan kepintaran itu selalu berbanding terbalik.

Namun tanpa mengurangi hormat dan rasa kagum, saya harus bilang kalau nggak semua perempuan bisa seperti Maudy Ayunda. She’s privileged enough to be in that kind of position. Perlu dicatat bahwa Maudy SMA-nya di British International School, sehingga probabilitasnya untuk diterima kuliah di Oxford tentu lebih tinggi daripada kita-kita yang sekolahnya di SMA 68 dan tiap sore membuang waktu puluhan menit untuk menunggu bus PATAS sambil menghirup asap knalpot jalan Salemba. *uhuk*

Sebuah Pernyataan Netral

Privilege – “A special right, advantage, or immunity granted or available only to a particular person or group.”

As for me, being told as ‘privileged’ is NOT an insult. Terlahir dengan privilege atau tanpa privilege adalah hal yang nggak bisa kita pilih. Ada yang begitu dilahirkan langsung punya banyak fans dan ditawarkan jadi model (karena ibu bapaknya artis), ada juga yang sudah dandan maksimal botox dan filler sana sini eh followers Instagramnya segitu-segitu aja. :’)))) *ditabok*

Kembali ke soal privilege, saya pernah membaca tentang cerita seorang guru yang menjelaskan arti privilege melalui kegiatan sederhana. Dia meletakkan sebuah keranjang di depan kelas. Seluruh muridnya diinstruksikan untuk melempar kertas yang sudah diremas dan dijadikan bola ke keranjang tersebut. Tentu saja murid yang duduk di baris depan memiliki kesempatan lebih besar dan kemungkinan yang lebih tinggi untuk memasukkan kertas ke keranjang. Murid yang ada di tengah? Probabilitasnya lebih kecil tentu saja. Lalu bagaimana murid yang duduk di belakang? Oh well, bahkan mereka belum tentu bisa melihat posisi keranjangnya :p

Praktek ini sederhana namun dengan sangat baik menjelaskan makna ‘privilege’. Kalau ada yang duduk di depan dan berhasil memasukkan kertasnya dengan tepat, maka yang lain akan bilang, “YA IYALAH ENAK LU DUDUK DI DEPAN… LAH GUE? KERANJANGNYA AJA GUE GA TAU BENTUKNYA GIMANA…” Sementara kalau ada yang duduk di belakang dan bisa melempar dengan jitu, baru lah orang-orang berucap, “WAH GILA, HOKI ABIS LU!”

Whether you sit in the front or at the back, you can’t really choose. It’s just a fact that some people sit in the front row while some are at the back rows.

Oleh karena itu, ketika saya bilang, “Yaiyalah, he/she’s so privileged.” It’s not that I understate someone’s achievements. It’s a logical statement that is purely neutral. Betul bahwa nggak semua yang privileged akan sukses, namun tetap kemungkinannya akan lebih besar. Let’s just accept that not everybody has equal opportunity.

But we are probably more privileged than we ever think

Namun harus diakui bahwa pernyataan netral seputar privilege ini bisa menjadi kontra produktif. Jika tidak digunakan secara proporsional, bisa jadi ini bikin kita cepat mengeluh, “Ya gue nggak bisa lah kaya dia, dia kan beda, dari lahir udah pinter, udah kaya, dst.”

Menurut saya, menyadari adanya tingkatan privilese ini harusnya memotivasi kita untuk berusaha lebih baik. Kalau ibarat bangku kelas tadi, mungkin kita nggak duduk paling depan, namun kita tetap punya kesempatan untuk mempersiapkan diri dan memberikan lemparan terbaik kita. Kalau anak-anak yang duduk di depan perlu sekali lempar untuk memasukkan bola kertas ke dalam keranjang, mungkin kita butuh 3x atau bahkan 10x. Mata kita harus lebih awas dan perhitungan kita harus lebih akurat. When we are less privileged, we surely need to work harder.

Jika diibaratkan ruang kelas, Ayah saya dulu mungkin ada di barisan belakang. Ayah saya datang dari Kota Payakumbuh ke Bandung untuk ikut ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri di Bandung. He was surely way less privileged than the others, but he worked extra hard. Selama setahun beliau latihan ratusan soal setiap hari dari pagi sampai malam and he made it to ITB :’)

Looking from the other side, I can say that my father was still more privileged than the others. Walaupun hidup pas-pasan, namun dia memiliki kesempatan untuk kuliah dan tidak harus bekerja untuk menghidupi keluarga besarnya, cukup menghidupi diri sendiri. It was still a privilege, wasn’t it?

12 responses

  1. Setuju mba ? somehow topik privilige ini topik yg cukup srg diangkat sama book blogger dan bookstagrammer, jadi lbh aware sama masalah begini, jadi ga iri2 bgt dan lbh bersyukur sama yg dimiliki

  2. So agree kak Put

  3. aku ingat kata-katanya bu Tri Rismaharini: “semua orang layak berhasil karena Tuhan itu adil”. Emang riilnya life is not fair, tapi pasti selalu ada jalan meskipun ya jalan antara orang ber-privilege dan yang kurang ber-privilege itu beda. Tapi tetep jalannya ADA. Seperti analogy-nya mba Put, kalau yang duduk di belakang ttp bisa lempar kertas ke keranjang dg akurat tapi jalannya mesti naik meja dulu dan latihan yg lebih keras ehehehe.

  4. Setuju banget mbak puuut. Intinya ya kalo mau sukses butuh usaha sm doa yg besar juga. Lebih dr itu yaaa rezeki masing2 kan sudah ada :))) kalo di dunia dia lbh hebat dr kita, kenapa kita nggak mencoba melampaui akhiratnya? Masya Allah.

  5. Yundarani Avatar
    Yundarani

    Mba Puty, I couldn’t agree more!!! terima kasih sudah menyuarakan isi hati saya soal ini ???

  6. Wah ini tema keren yang pernah aku obrolin sama temen aku sebelum postMaudy merebak. ((( merebak )))
    Tema privilesenya tentang entrepreneur. Ada entrepreneur muda, cakep, kaya, pinter, aktivis, punya bisnis lebih dari 2 dan humble. Kurang apalagi lah ya. Trus temenku bilang, “inget, dia punya privilege dari keluarga tajir plus anak tunggal. Kalo mau kagum, Chairul Tanjung. You know the rest.”

    Bener juga. Kayak, lo jadi pengusaha dapet privilege orang tua kaya ya ga salah sih, tapi akan beda dengan mereka yang berasal dari orang tua yang biasa2 aja. Tapi yang biasa2 aja pada akhirnya bisa jadi lebih spesial nantinya ya hehe.

    Btw ternyata kita sama2 #PayakumbuhPride!

  7. Uwuuu, singkat padat dan menyuarakan suara hatiku juga mbak ?
    Tempo hari mamaku bilang, “Maudy aja diperebutkan dua univ besar, kenapa kakak skripsi aja nggak kelar. Padahal sama-sama makan nasi…”
    Aku jawab “tapi kan gulainya ga sama ma ?”

    Benar pasti ada perbedaan antara yg duduk di kursi paling belakang dan depan, tapi yang paling belakang juga jangan putus asa dan terus berusaha. Aku yg dari kursi paling belakang ini juga akan berusaha supaya lulus ?

  8. setuju mbak! tapi ya, being LESS previlege itu justru bikin kita muter otak gimana caranya biar bisa. jadi mau more previlege apa LESS previlege sama sama ada positifnya yah, hhehe.

    dwimaharani.com

  9. Ih bener banget deh ini! Barusan aku juga nulis-caption-tentang middle worker class yang baru bisa nikmatin hidup setelah merancang dari tahun 1995 ahahaha tetap aja aku percaya bahwa rezeki penuh berkah itu bisa didapatkan oleh siapapun yang merasa punya previlege atau gak.

  10. Yep, setuju dengan yang ditulis. Aku pun pernah praktekin ini di kelas waktu bahas materi tentang kelas sosial. Bahwa kadang ada hal-hal lebih pun juga kekurangan yang didapatkan sejak kita lahir. Cuma kita ga boleh berhenti nyalahin hal-hal tersebut, harus tetep sadar apa yang mesti dilakukan supaya bisa sukses.

  11. Setujuuuu, Mba Puty! LESS privilege nggak berarti jadi merendahkan atau mengasihani nasib diri sendiri ya. Kalo emang ingin mengejar sesuatu, we can do it by working hard. Thank you for sharing this thought!

  12. semua orang punya privilagenya masing-masing, iyes

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.