Beberapa hari lagi saya akan berumur 27 tahun. Ada beberapa alasan kenapa 27 merupakan angka yang sejak dulu saya nantikan. Dulu saya selalu berpikir bahwa saya akan menikah di umur 27 seperti Bunda saya. Ayah dan Bunda saya adalah tipe orang tua yang bilang kepada anak-anaknya, “Nikah itu nggak usah buru-buru. Kerja dulu dan puas-puasin jalan-jalan dulu saja.” So, I did, the ‘kerja-dulu-dan-puas-puasin-jalan-jalan-dulu‘ part and settled down at 27… or 26.5 to be precise (though I got married at 25).
Actually my life trajectory is not a unique one: jadi murid yang selalu dapat ranking di SD & SMP, masuk SMA unggulan, masuk perguruan tinggi negeri favorit, kerja di perusahaan multinasional, menikah dengan pria baik-baik, well educated & mapan di sebuah gedung bagus dan settle down. Tentu ada kegagalan-kegagalan yang terjadi di tengah jalan (gagal terpilih untuk pertukaran pelajar, gagal dapat beasiswa kuliah ke luar negeri, gagal pindah kerja ke Jakarta, dll) namun tanpa itu semua saya mungkin nggak ada di sini sekarang. Nevertheless, by most Indonesian parents’ standard, I’m doing just fine.
Namun pada era dimana interaksi dengan dunia luar didominasi oleh media sosial seperti ini, saya pikir rasa syukur bisa jadi hal yang rapuh sekali. Kita dipilihkan dan disuguhkan gambaran ‘terbaik’ dari hidup orang-orang di sekitar kita yang bisa jadi jalan hidupnya beda sama sekali. Sejak resign, seringkali saya scroll timeline Instagram / Path sambil berdaster ria di rumah, melihat update status atau foto teman-teman yang kuliah / kerja di luar negeri sedang nonton konser atau weekend escape dan makan gelato. Saya pasti termenung kangen ingin solo traveling lagi dilengkapi dengan sedikit banyak rasa minder, “Kapan gue mau S2 ya? Kayanya semua orang udah S2 deh…”
Scrolling for more, nampak foto teman-teman yang gemilang di karirnya sedang presentasi atau menghadiri conference ini dan anu. Saya pasti berdecak kagum, “Aduh, hebat-hebat dan keren-keren bener ya mereka…” sampai bisa lupa apakah cucian sudah dikasih pewangi atau belum. Scrolling for more, muncul lah foto-foto eyegasmic gunung dan pantai milik para teman traveler berjiwa bebas tanpa ikatan (juga mungkin tanpa beban cicilan) yang membuat saya berusaha mengingat-ngingat kapan terakhir kali liburan dan kapan bisa liburan lagi karena akan melahirkan. Bahkan kadang foto sederhana milik teman yang sedang ngopi di kafe tengah kota pun bisa bikin saya merasa ‘kurang‘.
Then I thought: maybe they are not bragging, maybe they are just really good and just really having good times and they want to share the good news and all the good things. I guess it’s actually us, who constantly compare the others’ highlights to our behind-the-scenes… and I guess it happens to a lot of us nowadays (even someone as positive as Diana Rikasari!) with these never ending oh-my-life-is-so-good updates on Facebook, Instagram, Path, Snapchat, etc etc.
Maksud saya begini, mungkin tanpa saya tau, teman-teman hebat saya yang sedang kuliah di luar negeri sebetulnya kepikiran apakah setelah selesai kuliah akan dapat pekerjaan yang sesuai dengan ekspektasi, usia serta tanggungan finansial mereka (dan kangen siomay, seblak, atau lumpia basah). Mungkin teman-teman keren yang sibuk konferensi ini itu sebetulnya ingin punya lebih banyak waktu di rumah dengan keluarga (dan diam-diam kangen enaknya tidur lagi setelah Subuh sampai jam makan siang). Mungkin teman-teman traveler dan adventurer sebetulnya juga punya secercah rasa insecurity karena orang-orang di sekitarnya sudah mulai mencicil rumah dan sibuk belanja online bantal kursi di Instagram. Mungkin. Eventually everyone lives his own highlights and behind the scenes.
Tulisan ini sebetulnya saya buat untuk diri saya sendiri; mengingatkan diri saya sendiri untuk lebih banyak bersyukur lagi, but I also think that this one is worth to share, to let people know that anyone can have these thoughts despite the fact that she / he is doing just fine. Terutama menyambut kehidupan motherhood yang disebut-sebut rawan insecurity dan obsesi untuk membuktikan diri (that she took the rightest decision to have a child, that she’s leading a perfect life, etc etc) melalui media sosial. (link & link)
So here I am, almost 27, almost a mom :) I guess life is neither a sprint nor a marathon because we all have different tracks, different routes, different timings, so why do we focus on competing?
Leave a Reply to kikiCancel reply