Setahun lalu saya membaca buku ‘The Life-Changing Magic of Tidying Up’ yang ditulis oleh Marie Kondo. Pembahasannya saya post di blog ini dan bisa dicek pada link berikut. Saya pikir setelah satu tahun dan merasakan perubahan pada diri saya, it’s worth telling here :)
Kalau boleh jujur, sebetulnya interior monokrom dan minimalis nggak sesuai dengan jiwa saya (tsah!) Yah, saya senang sih lihatnya di majalah atau blog-blog desain interior, namun kalau untuk rumah sendiri saya hobi memajang souvenir dari kota-kota yang pernah kami kunjungi, foto-foto keluarga dan pajangan-pajangan yang menurut saya lucu (walaupun mungkin bagi sebagian orang absurd, heheheh).
Pendek kata: saya suka beli-beli, memajang dan menimbun printil-printilan.

Namun sejak rutin melakukan beberes dan decluttering setahun belakangan, saya mulai sadar kalau saya punya terlalu banyak barang yang nggak saya butuhkan dan inginkan: Sabun, body lotion dan sandal rumah dari hotel (padahal di rumah saya nggak pernah pakai sandal dalam ruangan), atau buku catatan dan gantungan kunci gratisan dari goodie bag sebuah acara.
Selain itu banyak barang-barang yang masih saya simpan karena saya lupakan, seperti boneka sejak zaman kuliah di lemari bagian atas, buku tamu resepsi pernikahan, sampai dus-dus gadget yang bahkan isinya sudah entah kemana. Kemudian ada juga kabel-kabel yang sudah nggak jelas untuk perangkat apa, pulpen dan spidol-spidol yang sudah kering tintanya, sampai berbotol-botol skin and body care yang masih separuh terisi tapi sudah kadaluarsa. Belum lagi lemari baju yang sesak, padahal pakaian langganan saya itu-itu saja.
Mungkin ini terdengar wajar dan biasa. Mungkin ada yang mikir: kalem weh lah, namanya juga rumah tangga. Ada yang dibuang, nanti juga ada yang datang lagi. Hari ini diberesin sampai kosong, besok-besok juga penuh dan berantakan lagi.
Namun ternyata kalau dijalankan secara rutin dan sepenuh hati, beberes rumah ini bisa jadi ajang instrospeksi diri loh. Saya mengalaminya sendiri.
Begini, dengan beberes dan melakuakan decluttering, saya jadi sadar kalau saya sering beli barang berlebih sampai mubazir. Misalnya nih, saya punya body lotion sampai dua botol pada waktu yang bersamaan, padahal saya pakai seminggu sekali pun sudah bagus sementara produk semacam ini biasanya kadaluarsa setelah 18 bulan. Begitu juga dengan lipstik dan cat kuku. Walaupun saya terbilang jarang dandan, ternyata pada saat beberes teranyar saya membuang lebih dari lima buah lipstick dan hampir 10 botol cat kuku yang terakhir kali saya pakai sebelum hamil (artinya hampir 2 tahun yang lalu!)
Begitu pula waktu saya melihat lemari baju. Ternyata nih, saya ternyata punya cukup banyak hijab model pashmina yang saya beli waktu awal mengenakan hijab dan ternyata hanya saya pakai satu dua kali lalu saya simpan dan lupakan. Alasannya: nggak sempat improvisasi dengan hijab yang ribet-ribet tapi tetap mikir ‘siapa tau nanti saya sempat belajar via tutorial hijab di youtube’.
Itu semua belum ada apa-apanya dibandingkan laci yang isinya printilan-printilan dan alat tulis saya. Waktu dicek, ada berbagai notebook lucu yang saya beli mulai dari jaman SMA sampai kerja. Beberapa saya simpan untuk koleksi, namun banyak yang sebetulnya sudah nggak cocok lagi ditimbun karena bikin penuh sementara saya sudah jarang menulis di notebook. Akhirnya cukup banyak aksesoris dan alat tulis yang saya jual melalui Instagram.
Selain sebagian kecil yang saya jual, barang-barang yang tereliminasi akhirnya saya sumbangkan dan cukup banyak sisanya yang harus dibuang. Sekali beberes bisa terkumpul 2-3 kardus yang sebetulnya kalau saya hitung-hitung harga belinya lumayan juga.
Cukup 2-3 kali beberes untuk bikin saya ‘kapok’. Serius deh, dibandingkan dulu, sekarang saya jauh lebih banyak pikir-pikir dulu kalau mau beli apa-apa.
“Ini saya betulan butuh nggak ya? Di rumah masih ada barang sejenis yang bisa dipakai nggak ya? Ini apakah bakalan mengendap lagi di laci atau gimana? Ini barang bakal produktif nggak? Ini kalau pun mau dipajang, dipajang dimana? dst dst.”
Selain itu, dengan beberes rumah secara rutin, saya jadi ‘aware‘ barang-barang apa saja yang kami punya. Misalnya USB Flashdrive, walaupun rasanya jarang beli ternyata kami punya setidaknya delapan buah di rumah karena ternyata cukup banyak gratisan dari training atau goodie bag seminar. Misalnya lagi parfum, ternyata saya punya empat botol yang belum habis. Mukena; ternyata saya punya setidaknya dua set yang masih baru dan belum pernah dipakai. Kacamata hitam; sepertinya kok ingin beli lagi dan lagi padahal ada tiga buah yang semuanya masih bagus.
Akhirnya setiap ke mall, saya nggak terlalu jelalatan lagi ingin kesini kesitu. Kalaupun masuk ke toko dengan diskon besar-besaran, saya merasa lebih punya self-control dan seperti ada suara di kepala saya, “Will this stuff end up decluttered?” Begitu juga kalau online-window-shopping, kadang saya masih tertarik lihat jastip tas impor, namun kalau sudah ingat masa beberes dan bingung mau meletakkan tas dimana lagi, saya buru-buru tutup jendelanya.
Tentu saja saya nggak lantas jadi malaikat tanpa nafsu belanja~ HAHAHA… Tetap ateuhhh, namanya juga ibu-ibu, tapi ya jadi lebih mendinglah :P
Demikian sharing saya soal beberes rumah ini. Apakah teman-teman pembaca terutama ibu-ibu punya pengalaman serupa? Atau niat mencoba? Share ya melalui komentar :)
Leave a Reply