‘Memproses’ 2020

Pertama kali saya tau kalau kita bisa menggunakan kata ‘memproses’ untuk diri sendiri adalah waktu ngobrol sama Nadya, co-CEO dan fiunder Wangsa Jelita. Sedikit banyak saya belajar soal well-being dan mencoba bilang, “I need more time and space to process everything first.”

Sejak mulai menulis online belasan tahun lalu, banyak tulisan yang saya buat karena saya merasa resah, nggak nyaman, atau nggak suka akan sesuatu. Dulu rasanya mudah. I didn’t like Marshanda (well back in early 2000s loh ya hahahah), I didn’t like hipsters who posed and pretended to like something they didn’t really understand (huh, who was the real hipster? say my name~), I didn’t like anak gaul because I thought they were toxic and shallow (iri bilang bos!) and yada yada. Saat itu, di umur belasan tahun, rasanya gampang banget menulis.

Kembali ke hari ini, rasanya semakin ‘sulit’ menulis. Ada beberapa alasan:

  1. Apa yang dulu menurut saya ‘masalah’ sekarang nggak lagi.
  2. Walau audiens saya nggak banyak-banyak banget (well, I started blogging more or less the same time with Raditya Dika Kambing Jantan, now look where he is, hahaha!) namun saya merasa harus lebih ‘hati-hati’ agar nggak menyinggung pihak-pihak tertentu.
  3. Semakin lama waktu yang saya butuhkan untuk memproses apa yang saya pikirkan dan rasakan. Bukan karena prosesnya jadi lambat (hopefully :’)))), tapi saya sadar bahwa saya butuh ada pada tahap tertentu sampai bisa menulis sesuatu dengan ‘bijaksana’.

Baru-baru ini saya mengetahui soal piramida DIKW – Data, Information, Knowledge, Wisdom. Berawal dari tulisan T.S. Eliot ‘The Rock’ tahun 1934, susunan information -> knowledge -> wisdom ini lazim digunakan untuk memodelkan proses menerima dan menyampaikan informasi.

Bagi saya piramida ini adalah model yang baik. Kita nggak mungkin bisa bijaksana dalam berpihak kalau data yang kita punya nggak lengkap atau hanya dari satu sisi aja. Kita nggak mungkin bisa mengambil keputusan yang berdampak menyeluruh kalau kita nggak punya cukup informasi yang tersebar. Kita nggak akan bisa memodelkan masalah kalau nggak punya cukup data.

Saya coba interpretasikan seperti ini.

Semisal ini data.

Membuat korelasi antar data membuat kita memiliki informasi.

Semakin banyak data dan informasi mungkin kita bisa membuat basis untuk pengetahuan atau knowledge. Namun data / fakta tetap harus ‘dijunjung’ sebagaimana harusnya.

Semakin banyak banyak data dan semakin advance cara kita menganalisis korelasi data, semakin baik kemampuan kita untuk melihat gambaran besarnya, ada kemungkinan kita bisa berteori bahwa ini adalah gambar sebuah rumah.

Namun kebijaksanaan, saya pikir adalah mengakui bahwa ada banyak titik data yang kita belum / tidak ketahui. That we haven’t figured all of the dots yet. Tak lupa, hanya karena kita bisa menggambar rumah dari data ini, bukan artinya rumah harus selalu digambar seperti ini. Atau, bukan artinya data-data yang ada hanya bisa jadi gambar rumah saja :)

Nah, kalau yang teori konspirasi / cocoklogi gimana? Menurut saya begini:

Dari data langsung jadi gambar :’)))

*

Saya kemudian sadar bahwa mungkin seiring bertambahnya usia dan semakin terbuka pikiran saya (misal: sekarang saya ketemu lebih banyak orang yang dulu saya cap ‘anak gaul’, ternyata banyak yang pintar, baik dan berbakat, cuma dulu nggak sempat akrab aja.), maka semakin ‘naik’ standar saya sebelum menyampaikan sesuatu. Kalau dulu bermodalkan ‘data’ saja saya merasa pantas menuliskan sesuatu, maka sekarang saya berusaha untuk punya ‘informasi’ dari berbagai sudut pandang dulu sebelum menulisan dan menyimpulkan sesuatu.

Tentu hal ini nggak mudah, apalagi seperti yang sudah beberapa kali saya tulis, seperti di post ini, audiens sekarang cenderung lebih suka konten yang singkat. Padahal untuk memahami sesuatu sampai kita bisa mengambil keputusan mau bersikap apa (menulis apa, berpihak ke siapa, protes atau diam, dll), butuh (setidaknya sedikit) ‘kebijaksanaan’.

Masih sedikit berhubungan dengan post sebelum ini, di tahun 2020, berbagai topik datang bertubi-tubi: banjir, Covid-19 dan lockdown, pro kontra stafsus millennial, pelonggaran lockdown untuk alasan ekonomi, black lives matter, Papua, pelaku penyiraman air keras Novel Baswedan yang hanya dihukum setahun, pemerintah yang represif, dst dst dst.

Boom~

Ya memang iya nggak semua harus dipikirin, tapi tetap saja ketika saya peduli, informasi yang masuk pasti akan diproses. Pilih-pilih? Iya, saya sudah berusaha pilih-pilih kok. Saya sama sekali nggak penasaran sama Kekeyi dan bonekanya, nggak penasaran sama apa yang terjadi sama KD dan Raul Gonzales (eh, Raul Lemes), nggak ngikutin pro kontra geprek Bensu, nggak nonton drama Korea atau memikirkan apakah Kom Jong Un yang ada sekarang adalah asli atau dummy, dst.

Hmmm…

Namun, mungkin memang saya butuh waktu dan ruang untuk memproses hal-hal yang terjadi di 2020. Bisa menulis sesuatu dengan komprehensif secara rutin mungkin cita-cita saya yang ‘muluk-muluk’ di tahun ini, but again, I decided to make peace with myself and my inability to do everything at the same time.

I decided that it is always okay to say “I need more time and space to process everything first.”

***

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.