Ruang dan Waktu Untuk Mengungkapkan Perasaan

Saya pernah ngobrol sama teman, lupa kapan tepatnya, tapi ada penggalan obrolan yang sampai sekarang masih saya ingat dan terus saya pikirkan. Obrolan tersebut adalah hipotesis tentang kenapa semakin kesini kita, manusia modern, semakin gampang stress; salah satunya adalah soal semakin berkurangnya keterampilan dan kesempatan kita dalam mengungkapkan perasaan.

Beberapa kali saya coba cari referensi atau jurnal yang membahas ini tapi belum ketemu, jadi saya akan kasih disclaimer sejak awal bahwa tulisan ini akan didasari oleh pengalaman dan pengamatan saya, dengan segala biasnya.

Jadi seperti apa maksudnya “kurang terampil dan kurang sempat mengungkapkan perasaan?” Contoh yang saya pikir paling gampang adalah: dulu, banyak dari kita yang menulis di diary; mengungkapkan apa yang kita rasakan dengan bebas tanpa harus takut dinilai oleh siapapun. Saya ingat betul kalau dulu diary saya pakai fitur pengaman berupa gembok kecil, yang walaupun dengan mudahnya ‘dibobol’ namun tetap menandakan teritori pribadi.

Menulis diary adalah bentuk menuliskan pikiran dan perasaan. Menuliskan pikiran dan perasaan, tanpa disadari adalah sebuah bentuk menguraikan dan usaha untuk memahami apa yang terjadi dan dampaknya pada diri sendiri. Coba ingat, apa sih yang biasa kita tulis di diary? Kalau saya dulu akan memulai dengan “Dear diary, tadi aku merasa __________ karena __________” Walaupun mungkin isinya cuma “senang karena melihat gebetan di tempat les” atau “sedih karena mendapat nilai jelek”, namun ada proses memahami perasaan sendiri lalu ‘mengalirkan’-nya. Kenapa kita senang, apa yang kita suka dari gebetan kita, kenapa kita sedih, kenapa kita dapat nilai jelek? Apakah karena kurang belajar? Atau soalnya lebih susah dari ekspektasi?

Menulis diary adalah bentuk belajar dan introspeksi. Untuk hal ini, bisa di-googling kok artikel-artikel tentang hubungan menulis dan memahami; dan pentingnya menulis untuk belajar.

*

Maju cepat ke dua dekade berikutnya, saya nggak tahu apakah ada anak yang di tahun 2020-an yang masih menulisi diary. Mungkin ada yang berpikir bahwa di era digital ini semua bentuk ‘curahan rasa hati’ a.k.a curhat sudah berpindah ke media sosial. Well, sebagai orang yang pernah mengalami fase labil offline dan online, yang juga pernah punya diary dan blog, saya bisa bilang bahwa mengungkapkan perasaan di diary dan media sosial berbeda.

Media sosial adalah ranah publik. Saat menulis secara sadar di media sosial, kita akan memiliki persepsi siapa saja yang akan membaca ungkapan perasaan kita. Bias seperti ini nggak akan terjadi saat kita menulis untuk diri sendiri, atau curhat langsung ke orang yang kita rasa aman dan nyaman untuk dijadikan tempat berbagi.

Salah satu hal yang mendasari keyakinan ini adalah pengalaman selama beberapa tahun cukup sering ikutan acara perempuan dan ibu-ibu muda pada khususnya, kebanyakan yang aktif di media sosial. Adalah hal yang wajar ketika di media sosial kita membagikan hal-hal yang bagus dan cenderung menyembunyikan hal-hal yang membuat kita tertekan, sedih, atau kesal. Kita bisa mengekspresikan kebahagiaan atau hal-hal menyenangkan dengan banyak pilihan, bahkan foto yang bagus pun akan bicara sekalipun kita menulis “No caption needed” sebagai caption.

Pertanyaannya: Lalu di mana rasa tertekan, sedih, dan kesal ini kita urai dan alirkan? Inilah yang saya rasakan mengalir bahkan menjadi gelombang besar saat acara kumpul dan curhat sesama perempuan. Ambyar, Beb.

Saya pikir ini bukan masalah perempuan saja. Malah mungkin saja ini lebih berdampak pada laki-laki yang sejak kecil ditanamkan motto hidup, “Boys Don’t Cry”.

*

Berkurangnya kesempatan untuk mengungkapkan perasaan ini boleh jadi bertambah buruk karena di masa modern yang serba cepat ini, kesempatan kita bertemu orang yang kita rasa aman dan nyaman untuk ngobrol-ngobrol dan curhat menjadi lebih terbatas. Setidaknya itu yang saya alami. Untuk bisa punya sesi ngobrol dengan sahabat pun kami harus janjian, hari dan jamnya. We have less and less time for our feelings; or at least that’s what I thought.

Hal lain yang saya pikirkan adalah teknik komunikasi digital yang mungkin berdampak juga ke bagaimana kita menguraikan perasaan dan pikiran kita lalu menyampaikannya. Salah satu contohnya: penggunaan emoji. Dulu, orang menulis surat panjang lebar yang isinya mengungkapkan rasa cinta atau kangen. Ada proses yang cukup panjang dari tahap merencanakan apa yang mau ditulis, memikirkan orang yang akan dikirimi surat, memikirkan apa yang kita rasakan dan mengungkapkan semuanya. Sekarang? Cukup kirim emoji bentuk hati. I think, without realizing it, we don’t really think about what we feel. I think, we’re less and less skilled on expressing our thoughts and feelings. Even worse, there’s a slight chance that everything means less and less.

*

Berdasarkan pengalaman pribadi, saya merasa mengungkapkan pikiran dan perasaan adalah hal yang harus dilatih. Beberapa kali saya bicara dalam workshop tentang menulis jurnal, cukup banyak yang merespon dengan berkata: “Saya harus nulis apa? Saya harus mulai dari mana? Saya nggak pintar menceritakan isi hati dan kepala saya.” Saya percaya ini normal. Memahami diri sendiri harus dilatih, menuliskan dan mengekspresikan isi hati dan kepala juga harus dilatih.

Kadang saya mendengar orang bilang kalau konten Instagram saya relatable dan bisa menyuarakan perasaan mereka. Well, probably that’s because I’ve been practicing acknowledging my feelings and what’s wrong; addressing the problems and then expressing them in quite various way: writings, comics, drawings, even memes.

Rasanya sudah jadi pengetahunan umum bahwa berkarya untuk berekspresi butuh latihan: menulis, menggambar, bermusik, bikin film, tarian, dll. Namun semakin kesini saya yakin kita semua butuh latihan untuk memahami dan menguraikan perasaan sendiri dan mengungkapkannya; walau hanya untuk diri kita sendiri.

Modern problems require modern solutions. Mungkin solusinya bukan kembali menulis surat atau menulis diary yang dilengkapi gembok; but one thing I’m pretty sure: we need to allocate more time and space to practice to acknowledge our feelings and thoughts. Entah itu untuk ngobrol dengan orang yang kita rasa aman, ikutan acara yang menyediakan safe space, menginisiasi support group, ngomong ke diri sendiri di depan cermin, menulis jurnal, bahkan punya akun media sosial yang privat dan anonim.

You do you but spare some time for yourself.

***

4 responses

  1. halochichie Avatar
    halochichie

    Padahal aku pun sebelum rajin ngeblog (padahal sekarang belum tentun seminggu sekali nulis) lebih suka nulis di journal gitu, tapi sekarang menuangkan dalam tulisan walau gak semuanya isi perasaan. Tapi memang jadinya sekarang itu ngobrol berkualitas jadi semakin berkurang, apalagi semenjak pandemi gini jadi emang jalan biar kitanya gak stress aku menuangkan dalam tulisan atau biasanya foto.

  2. halo mba puty, terimakasih uda menulis inii. mengingatkan kembali ada diri sendiri yg mesti kita dengar dan dampingi setiap harinya

  3. Hai kak, saya setuju banget sama tulisan kakak. Kadang saya suka curcol/ranting di sosial media, tapi itu nggak nyelesain masalah apa pun. Saya tetep nggak tahu perasaan apa yang saya alami. Mungkin, yang ada orang-orang yang baca malah tersinggung, padahal saya nggak ada maksud untuk nyinggung mereka. Setelah rajin nulis jurnal, saya mulai terbiasa menjabarkan emosi/perasaan sekaligus memahami penyebab munculnya emosi tersebut.

  4. Hai Puty. Terima kasih udah mengulas tentang menulis jurnal ini :) dulu aku sempat berhenti nulis jurnal dan lebih sering menulis curhatan pendek di medsos. Tapi 2 tahun belakangan ini aku udah rutin lagi menulis jurnal dengan kertas dan pena, dan manfaatnya bagus banget buat kesehatan jiwa :)

Leave a Reply to MessaCancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.