The Infinite Game

Semalam saya baru menyelesaikan buku ‘The Infinite Game’ karya Simon Sinek. Secara keseluruhan saya nggak ‘gimana-gimana banget’ sama bukunya karena ini sebetulnya buku bisnis dan manajemen dengan spesialisasi Simon Sinek: leadership. Tentu ada bagian-bagian yang saya nggak bisa relate, misalnya bagaimana mengelola team yang berdasarkan pada ‘trust’ satu sama lain. Namun dari sisi filosofi, sebetulnya mindset ‘infinite game’ ini bisa kita terapkan ke diri sendiri (self-leadership). Setidaknya untuk saya yang menobatkan diri sebagai kreator konten.

Di buku ini Simon Sinek menjelaskan kalau zaman sekarang perubahan sangat cepat terjadi. Rata-rata life-span sebuah bisnis zaman sekarang adalah 20 tahun, sementara pada tahun 1950-an rata-ratanya lebih dari 60 tahun. Kenapa hal ini terjadi? Menurut Simon Sinek, karena kapitalisme yang dipraktekkan hari ini sudah bergeser dari ide awalnya Adam Smith yang bukan semata-mata soal uang tapi juga bagaimana bisnis itu tentang memberi manfaat kepada konsumennya. Menurutnya, kapitalisme hari ini lebih berkiblat kepada Milton Friedman yang mengutamakan pada kepentingan pemegang saham, padahal pemegang saham pada umumnya nggak peduli sama esensi sebuah bisnis, yang penting cuan.

Hal ini kemudian mendorong banyak perusahaan dan pemimpin untuk mengambil keputusan yang berorientasi semata-mata pada cuan ketimbang ‘sustainability’ sebuah bisnis. Inilah yang disebut Simon Sinek sebagai ‘finite game’.

Jadi gimana dong, kita kan harus cari ‘cuan’ untuk membeli beras dan emas? Betul, tapi kata Om Simon di buku ini, prioritasnya harus bener: do the business with purpose first, money will follow. Kalau urutannya begini, sebuah bisnis bisa lebih sustainable karena akan lebih bisa menerima dan beradaptasi terhadap perubahan. Misalnya… kalau dulu Kodak stick with the purpose (atau ‘just cause’ sebutannya di buku ini) untuk membuat orang bisa merekam momen-momen penting dalam hidup, maka semestinya mereka bisa menerima dan duluan beradaptasi dengan keberadaan kamera digital.

Tentu pada kenyataannya nggak sesederhana itu dan, jujur saja, buku ini agak terlalu idealis. Namun seperti yang sudah saya sebutkan di awal, buku ini bikin saya berpikir dan melihat kembali tentang hidup dan pekerjaan sebagai ‘infinite game’.

Saya sudah bikin konten digital selama hampir 20 tahun, mengikuti trend media sosial dan apa-apa yang hype di internet. Kalau dibilang bahwa setiap hari perubahan selalu mencetak rekor kecepatan baru, saya percaya. Apalagi kalau ngomogin konten digital yang memang didukung dengan pesatnya perkembangan teknologi yang bukan hanya makin canggih tapi juga makin inklusif. Selalu ada supply, demand, dan platform baru, tapi kecepatan berubahnya makin ‘gila’ :’)))

Saat ini, saya pun sampai pada kesimpulan bahwa kalau kreator konten mau melihat ini sebagai ‘infinite game’, kreator perlu kembali mengingat tujuan (purpose) awalnya yang lebih ‘besar’ dari sekadar jumlah followers, engagement dan cuan yang didapatkan.

Salah satu contoh kreator yang menurut saya playing the ‘infinite game’ adalah Diana Rikasari. Apapun media dan platformnya, saya merasa Kak Di selalu ‘menarik’ dan punya message kuat. I’ve been following her since DeviantArt, ngikutin blognya, beli bukunya, beli barang-barang dari brand-nya dan sampai hari ini tetap ngefans karena dia terus tumbuh dan bikin berbagai karya. She’s surely beyond the medium.

Setiap hari akan ada ‘influencer’ baru dan cepat atau lambat akan ada platform-platform baru. Akan selalu ada konten-konten dan kreator-kreator yang bikin kita berkata, “Duilee, begini banget ya nyari engagement / traffic / cuan / ngebet viral?” Akan selalu ada ‘so-called-influencer’ yang mengeruk cuan dari endorse-an pemutih abal-abal sambil mengeksploitasi sensasi. The question is, do we want to play the ‘finite game’, keep chasing for followers and engagement and making it a competition? Or do we aim for something bigger?

“We don’t get to choose whether a particular game is finite or infinite. We do get to choose whether or not we want join the game. Should we choose to join the game, we can choose whether we want to play with a finite or an infinite mindset.”

*

Kalau dipikir-pikir, sebetulnya konsep ‘Infinite Game’ ini ya seperti ajaran agama (dalam hal ini agama Islam, tapi saya pikir nilai-nilai kebaikan agama apapun sifatnya universal). Bukannya mau cocoklogi tapi pada akhirnya, untuk bisa bertahan dan beradaptasi, kita perlu motivasi yang lebih besar dari sekadar pencapaian materi untuk diri sendiri. Untuk keberkahan jangka panjang sampai ke anak cucu, kita perlu memastikan kehalalan rezeki yang kita dapat dan berbisnis dengan etis. Untuk bisa beradaptasi kita perlu terus menjadi rendah hati karena dalam hidup nggak ada yang pasti.

Karena hidup nggak sekadar dunia saja. Ada yang lebih besar. Kalau bahasanya Buzz Lightyear, “Infinity and beyond.”

***

Reference

Sinek, Simon. The Infinite Game. Portfolio/Penguin, 2019.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.