Beberapa tahun belakangan saya cukup sering ngobrol sesama perempuan termasuk ibu-ibu seumuran yang secara aktif menggunakan media sosial. Ketidakbahagiaan yang muncul karena aktivitas di media sosial ini adalah salah satu topik yang sering banget jadi dasar ‘karya’ saya baik itu tulisan, komik, bahkan buku ‘Happiness is Homemade‘ dan ‘Komik Persatuan Ibu-Ibu‘.
Hampir setiap ada kesempatan ngobrol, sharing session baik online maupun offline, kulZoom atauapun kulWap, hal yang selalu saya ulang adalah: kebanyakan scrolling orang-orang cantik, tajir, dan berprestasi akan mempengaruhi ekspektasi kita ke diri sendiri. Dulu, sebelum ada media sosial, ibu kita ya paling ‘membandingkan’ diri sama tetangga; yang mana kelas sosial ekonominya kemungkinan nggak jauh-jauh amat, atau sama saudara jauh itupun ya berapa kali sih dalam setahun? Paling pas Lebaran sama Lebaran Haji.
Sekarang? Setiap kita buka media sosial kita akan disuguhi oleh upaya-upaya terbaik setiap orang untuk mendapatkan validasi. Ada yang cantik dan stylish, ada yang pinter masak, ada yang sporty banget, ada yang sering jalan-jalan business trip, ada yang telaten banget ngurus anak, dst. Nggak hanya terjadi di media sosial semacam Instagram sih, saya juga berubah jadi Siti Sirik kalau buka LinkedIn.

Ini adalah problem yang klasik dan normal banget terjadi, apalagi media sosial isinya adalah ‘teman-teman’ kita sendiri. Dulu ibu saya nggak bakal sirik sama Paramitha Rusady atau Lidya Kandou karena jelas banget ‘batas’-nya antara artis sama orang biasa. Sekarang? Wow, teman-temanku sendiri yang selama ini kuanggap setara dan se-kasta ternyata tasnya Louis Vuitton~
Arus Pencapaian dan Rimba Pencarian Validasi
Masalah klasik ini saya rasakan diperburuk oleh kondisi zaman yang serba cepat dan instan. Kita dituntut cepat dan produktif. Cepat memproduksi, cepat mengonsumsi. Baru saja kita punya satu pencapaian, eh si B sudah di depan. Baru kita kepikiran menyusul si B, eh si C udah duluan melesat di jalur lain. Jadinya? Ya ngos-ngosan.
“Gapapalah ngos-ngosan dikit kalau bisa cepat sampai~” mungkin begitu pikir kita.
Tapi ‘sampai’ di mana? Di titik apa kita bisa bilang kita sudah ‘sampai’?
Beberapa kali saya mengisi sharing session, online atau offline, saya bertanya ke yang ikutan, “Pernah nggak sih kita tanya ke diri sendiri, apa yang betul-betul kita mau? Apa sih visi dan goals kita? Apa sih definisi sukses kita?“
Berdasarkan pengalaman, nggak banyak yang bisa menjelaskan goals ataupun definisi sukses mereka sendiri. Nggak heran banyak yang ‘kelelahan’ bertahan di derasnya pencapaian teman-teman dan rimba pencarian validasi di lini masa masing-masing. Ada kemungkinan karena nyasar saat mengikuti orang lain. Mungkin.

Berdamai dan Kompak Dengan Diri Sendiri Saat Berlari
Saya gimana? Semakin kesini saya menyadari kalau saya harus berdamai sama diri sendiri supaya kompak dan bisa mencapai tujuan saya tanpa harus kelelahan. Saya banyak ‘ngobrol’ sama diri saya sendiri, apa sih yang saya mau? Apa sih yang saya cari? Kalau ada yang mau saya kejar, saya sanggup nggak ‘lari’?
Apa visi saya? Sejauh ini: Bahagia karena bermanfaat dan bersyukur di dunia sehingga layak di akhirat masuk surga. Visi yang sangat general dan bisa diturunkan menjadi berbagai misi dan goals in various size and shape.
Namun Pada keberjalanannya saya sambil berlatih untuk bisa zoom in & zoom out saat memaknai sebuah ‘pencapaian’. Zoom in zoom out ini sebetulnya mengutip Bapak Adam Grant sih, seperti dalam twit berikut:
Zoom out for purpose. Zoom in for progress.
Merayakan Keberhasilan-Keberhasilan Kecil
Jadi kalau dirunut dari awal tulisan, jadi apa hubungannya ketidak bahagiaan karena media sosial, berdamai dengan diri sendiri lalu bahasan visi dan goals sampai petuah Adam Grant? Bagi saya kata kuncinya adalah: proses. Saya pernah menulis soal proses di sini dan di sini.
Menurut saya, penghargaan terhadap proses dan progress yang dijalani oleh diri sendiri untuk mencapai tujuan sendiri adalah cara terbaik untuk menangkal rasa tidak bahagia yang muncul karena melihat pencapaian orang lain.
Apa bentuk penghargaan terhadap proses? Celebrate the small wins! Rayakan keberhasilan-keberhasilan kecil pada perjalanan kita menuju sesuatu. Catat di jurnal. Check the to do list. Thank yourself and everyone who contributes on your progress. Katakan ke diri sendiri: “Pelan tapi pasti.” Berhenti ingin segalanya instan, mulai dari menurunkan berat badan sampai punya jutaan followers Instagram.
Be happy about our progress: dari yang nggak pernah olahraga, jadi olahraga seminggu sekali. Ya jangan langsung punya referensi badan ke instruktur yoga atau zumba yang sudah berpengalaman bertahun-tahun dong :’))
Dari yang nggak pernah baca buku jadi baca 3 buku dalam setahun.
Dari yang nggak pernah latihan gambar jadi latihan untuk hasilnya dihadiahkan ke teman.
Dari yang punya hutang kartu kredit bisa lunas dan mulai menabung pelan-pelan dan punya catatan keuangan.
Bahkan membereskan tempat tidur begitu bangun tidur dan menceklis hal-hal kecil di to-do-list saat memulai hari sangat membantu membangun mood untuk lebih produktif dan memberikan vibe, “I GOT THIS.”
Merayakan keberhasilan / kemenangan-kemenangan kecil ini juga akan memberikan kepuasan dan mendorong kita untuk terus konsisten dalam berproses dan berprogress ke tujuan kita.

Selamat merayakan dan berpelukan dengan diri sendiri :)
Bacaan yang bagus untuk disimak:
Leave a Reply