Salah satu hal yang sering ditanyakan atau dicurhatin ke saya adalah soal keputusan resign. Pertanyaan apakah sebaiknya berhenti bekerja kantoran yang datang ke saya kebanyakan berasal dari:
- Ibu-ibu yang punya anak di rumah namun merasa bersalah karena meninggalkan anaknya di rumah bersama orang lain
- Pekerja kantoran yang merasa hidupnya seperti robot dan ingin melakukan apa yang menjadi passion masing-masing (biasanya pekerja seni atau para entrepreneur yang ingin fokus membesarkan bisnisnya)
- Gabungan 1 & 2, ibu-ibu yang merasa bersalah meninggalkan anaknya di rumah jadi ingin berhenti bekerja kantoran dan melakukan passionnya (seni atau entrepreneurship) dari rumah sambil menjaga anak
Boleh jadi saya orang yang sesuai untuk dicurhatin, karena saya adalah mantan pekerja kantoran di sebuah perusahaan multi nasional yang kemudian berhenti untuk fokus di rumah lalu melakukan apa yang menjadi passion saya: menggambar dan menulis. Saya juga beberapa kali menulis soal resign dan menjadi working at home mom di blog ini.
Baca Juga: Apakah Menjadi Ibu di Rumah Artinya Mundur Dalam Aktualisasi Diri?
Namun setiap kali ada yang minta dukungan ke saya soal resign apalagi kalau bilang mau mengikuti jejak saya, saya langsung buru-buru bilang:
WAWAWAWAWA~ TUNGGU TUNGGU TUNGGU…
Begini, saya adalah orang yang sangat menghargai keputusan setiap orang karena saya yakin setiap orang memiliki latar belakang, situasi dan kondisi yang berbeda-beda. Resign alias berhenti bekerja adalah sebuah keputusan yang signifikan dalam hidup seseorang, sehingga harus dipikirkan matang-matang, jangan sampai dasar pengambilan keputusan itu didasarkan oleh sesuatu yang emosional apalagi gara-gara melihat orang lain, “Wah, si ini aja bisa,” atau “Wah, si anu enak ya,” dll. Jangan sampai juga kita hanya membayangkan yang manis-manisnya saja bagaikan tawaran MLM, “Join dong, enak loh dengan modal handphone kita bisa bisnis dengan penghasilan jutaan rupiah sambil main sama anak.”
PRET!
Nggak mungkin dalam hidup ada jalan yang manis melulu. Pasti ada pahitnya, ada asam garamnya. Apapun keputusan kita, kerja di mana pun kita, pasti ada ups and downs-nya.
Alih-alih memberi dukungan ke keputusan tertentu, saya akan menyarankan teman-teman, terutama ibu-ibu yang galau untuk mempertimbangkan hal-hal berikut sebelum memutuskan resign:
Apakah kita resign lalu tidak akan merasa bersalah?
Kalau pengalaman saya sebagai WAHM, perasaan bersalah adalah hal yang akan selalu ada kalau kita tidak mau menerima kekurangan diri kita sendiri. Saya sering sekali loh merasa bersalah karena menolak ajakan main anak saya karena saya sedang mengejar deadline. Kalau kerja di kantor betulan, mungkin si anak sekalian nggak melihat ibunya, tapi kalau kerja di rumah, udah jelas ibunya ada di depan mata kok ya menolak.
Saya pun pernah ngobrol sama teman saya yang bilang, “Iya, waktu gue full time di rumah, gue malah ninggalin anak gue nonton youtube karena harus nyuci, masak, dll… tapi saat gue kerja, gue mampu dan tenang mempercayakan anak gue di daycare yang certified dan credible dan rasanya kami sama-sama lebih bahagia.”
See? What works for someone doesn’t always work for the others. So, ask yourself and then ask your family (your spouse, most importantly) and your closest ones for support because that is what matters most.
Jangan tanya pendapat saya apalagi pendapat netizen karena netizen tidak pernah puas. Menurut saya rasa bersalah sendiri merupakan hal yang harus kita kelola, apalagi sebagai seorang ibu yang hidup di zaman sekarang karena tidak akan pernah ada habisnya.
Apakah kita resign lalu akan ikhlas?
Bagaimana kalau dasarnya agama? Saya pribadi sangat menghormati keputusan yang didasari oleh pertimbangan agama, namun harus diingat, keyakinan setiap orang berbeda. Ada yang yakin sekali kalau seorang istri harus berbasis di rumah dan Allah akan mencukupkan rezeki dari suami sebagai kepala rumah tangga. Ada juga yang yakin kalau rezeki harus dijemput dan ikhtiar suami maupun istri harus maksimal, apalagi di zaman sekarang ini.
Saya pribadi sangat meyakini dan mengamini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bahwa apapun yang saya lakukan harus atas ridha suami saya karena suami saya akan bertanggung jawab dunia akhirat atas kami keluarga kami. Saya juga yakin bahwa Allah akan selalu mencukupkan kebutuhan keluarga kami, sehingga saya bisa bilang kalau ini adalah sumber energi untuk ikhlas dan merasa cukup. Namun kalau saya membawa alasan spiritual dan personal ini ke orang lain yang mungkin pemahaman dan keyakinannya berbeda, belum tentu keikhlasannya akan sama.
Kenapa ini penting ditanyakan ke diri masing-masing sebelum mengambil keputusan? Karena keyakinan inilah yang akan bikin kita ikhlas dan merasa cukup.
Baca juga: Hidup Berkecukupan
Contohnya: Merasa cukup punya lippen 3 dan bukan 12. Merasa ikhlas kalau mau beli lippen lagi harus izin dulu sama suami, dan ikhlas juga kalau nggak diapprove lalu dinasehatin, “Loh, kan udah udah punya 3, warnanya juga bukannya sama-sama aja?” :p
Apakah kita resign lalu bisa mengejar passion tanpa batas?
Begini, sebagai orang yang pernah bekerja kantoran yang nggak ada hubungannya dengan passion, saya harus bilang bahwa memang pekerjaan membatasi waktu kita untuk mengembangkan hobi / passion. Namun saya leluasa untuk menolak proyekan yang nggak sesuai dengan hasrat berkarya saya, leluasa untuk hanya menerima project-project yang saya suka. Kasarnya, “Toh gue ga dapet duit dari sini gue punya pekerjaan tetap yang membiayai hidup gue…”
Nah, begitu kita memutuskan resign dan menjadikan passion kita sebagai mata pencaharian, keleluasaan untuk menolak inilah yang bisa jadi hilang. Bisa jadi yang membatasi adalah kebutuhan mencari uang. Kasarnya: Nggak berkarya ya nggak dapet duit. Bisa jadi loh ya, sekali lagi ini semua kembali ke situasi dan kondisi masing-masing, namun menurut saya ini hal-hal yang kadang luput dari pertimbangan seseorang.
Jadi tanya lagi ke diri sendiri, apakah kita lebih suka diatur-atur bos untuk mengerjakan hal yang bukan passion kita, atau diatur-atur klien (dan mungkin kebutuhan hidup) untuk mengerjakan hal-hal yang jadi passion kita?
Sekali lagi, tanya ke diri sendiri ya, jangan tanya ke netyjen~
Mudah-mudahan berkenan dan nggak terkesan menggurui yaaa… Justru sebaliknya, saya berharap tulisan ini bisa bikin teman-teman yakin atas keputusan yang telah diambil atau kelak akan diambil :)
Mudah-mudahan nggak terkesan ‘nakut-nakutin’ juga, karena seperti yang saya bilang tadi, sebelum mabil keputusan jangan pikir manis-manisnya saja. Kalau setelah dipikirkan masak-masak dan keputusannya matang memang ‘resign’, let me say,
“WELCOME TO THE CLUB!” *kasih pelukan dan lemparin confetti :3*
Cheers!
Leave a Reply to einstein87Cancel reply