Tanggal 23 April kemarin adalah Hari Buku Internasional yang juga merupakan tanggal wafatnya William Shakespeare. Cukup banyak ucapan Selamat Hari Buku yang bersliweran di lini masa media sosial saya, namun sejujurnya baru akhir pekan lalu saya termenung di sebuah toko buku di Bandara Halim. Saya teringat bahwa belum sebulan saya ikut berduka atas ditutupnya gerai Toko Buku Aksara di Citos & Pacific Place.
Jujur saja, setiap ke Pacific Place, saya yang warga sipil biasa ini (dengan daya beli yang tentu juga biasa-biasa saja) nggak begitu tertarik masuk toko lain selain Aksara. Ya walaupun itu juga belum tentu beli sih (HAHAHA). Memang saya sadari kalau seiring berjalannya waktu, Aksara lebih mirip concept store / curated gift shop ketimbang toko buku, tapi toh saya tetap senang berkunjung ke sana.
Semenjak ikut menulis buku, saya jadi lebih memperhatikan bagaimana perkembangan bisnis buku dan ‘keras’nya industri ini. Mungkin beberapa teman masih ingat bagaimana Tere Liye sempat ‘ngambek’ ingin berhenti menerbitkan buku gara-gara pajak penulis yang dirasa mencekik. Walaupun kemudian ditanggapi langsung oleh Ibu Sri Mulyani, isu ini adalah bukti kalau industri menulis buku sangat menantang di setiap ‘mata rantai’-nya: penulis, penerbit, penjual.
Pernah nggak sih terpikir kalau kita seperti nggak pernah kehabisan kafe baru untuk nongkrong dan berpose ala majalah Kinfolk untuk dipajang di Instagram? Pernah nggak membandingkan dengan berapa jumlah toko buku baru yang muncul? Padahal kalau dipikir-pikir, sekali makan di kafe baru yang cukup fancy, kita bisa menghabiskan lebih dari Rp100.000 untuk makan dan minum.
Bagaimana dengan buku? Walaupun baru punya satu buku, saya dapat gambaran kok betapa penerbit berjuang keras mempertimbangkan segala aspek ekonomi saat menentukan harga. “Aduh kalau segini kemahalan nggak ya? Nanti kalau target pasarnya mahasiswa pada nggak mau beli…” Saya pribadi yakin setiap penerbit punya pertimbangan yang matang, jadi saya nggak mempermasalahkannya.
Saya cuma bertanya-tanya dalam hati, “Kenapa ya kalau buku harganya di atas 80 ribu dianggap kemahalan tapi kayaknya kalau di kafe keluar 80 ribu untuk sendiri ya biasa-biasa aja…”
Iya, saya tau kok, dan sudah sering dengar kalimat, “Kalau mau kaya di Indonesia ya jangan jadi penulis.” Iya, saya tau kok, kalau mau kaya di Indonesia bukalah tempat wisata selfie, contek aja karya orang-orang yang Instagram-able lalu pungut biaya 20 ribu per orang. Kaya deh.
Namun kan nggak semua orang ingin kaya. Ada kok orang-orang yang hidupnya ingin berbagi gagasan, dan menjadi bermanfaat bagi orang lain.
Bagi saya, penulis, penerbit dan penjual buku adalah pihak-pihak yang membangun peradaban dan layak untuk hidup layak. Tahu kan kalau jumlah judul buku yang terbit setiap tahun adalah sebuah parameter penting-nya UNESCO yang mencerminkan standar hidup & pendidikan sebuah negara?
Terus kesimpulannya apa? Ya, nggak ada kesimpulan khusus, sih. Mau curhat aja. Untuk menutup tulisan ini dan meneruskan cerita di awal, saya akhirnya membeli sebuah buku di toko buku tersebut sebagai salah satu bentuk dukungan walaupun mungkin kecil. Teriring juga sebait doa agar nggak ada lagi penerbit yang gulung tikar, toko buku yang tutup, apalagi penulis yang sampai mengancam mau berhenti menerbitkan buku :’)
Mari kita semua semangat membangun peradaban bersama-sama!
Selamat Hari Buku Internasional :)
Leave a Reply to Silent readerCancel reply